akhirnya pendidikan itu….

Kriminalisasi Pendidikan

Ketika pendidikan nasional yang falsafahnya memanusiakan,
membudayakan, dan mengindonesiakan menghasilkan yang sebaliknya, di
situ terjadi kriminalisasi pendidikan.

Atas nama pendidikan, kita menghasilkan realitas antipendidikan.
Karena itu, seperti mengingkari konstitusi, yang muncul justru
tragedi Cliff Muntu dalam bentuk yang morbid; mewujudkan
kriminalisasi in optima forma.

Kriminalisasi pendidikan

Kriminalisasi pendidikan terjadi jika manusia—perumus kebijakan dan
pengelola pendidikan—menangani amanah dengan sikap yang salah.

Kesalahan terjadi ketika yang dipercaya menangani pendidikan
ternyata tidak peduli falsafah tentang hakikat manusia, realitas
kehidupan, dan bagaimana “ilmu sekolah” dapat berdampak positif
dalam peradaban manusia.

Pandangan yang mendasari perilaku pendidik tak dibenarkan dogmatis
atau spekulatif. Bahkan tidak cukup hanya dengan common sense.
Indikator keberhasilannya bukan pada target, melainkan pada makna.
Peserta didik adalah manusia, bukan angka.

Tidak seorang pun memiliki hak moral berpretensi sebagai pendidik
hanya karena kedudukannya dilindungi kekuasaan. Ketika birokrat
tampil sebagai pendidik, ia harus menjadi personifikasi nilai
kehidupan yang diperjuangkan. Jika tidak, ia hidup dalam kepalsuan,
kalau bukan kemunafikan.

Birokrat sebagai pengelola tidak berhak memaksakan norma kehidupan
kepada orang lain karena ini merampas kedaulatan eksistensial.
Posisi tidak langsung terkait esensi pendidikan. Tetapi itulah pola
yang dilegitimasi. Seketika memperoleh kekuasaan manajerial,
seketika itu pula ia mendadak menjadi ahli pendidikan. Dari situ
berkembang kondisi yang menciptakan kriminalisasi. Untuk tampil
sebagai pendidik, ia harus lebih dari birokrat. Pendidik adalah
pemegang amanah, dan mendidik berarti melaksanakannya sebagai
ibadah.

Kriminalisasi terjadi kapan saja dan dapat berdampak kepada siapa
saja. Karena “pendidikan” menjadi semu, dampaknya sama: sedikitnya,
pencerdasan yang membodohkan. Pendidikan menjadi peristiwa tanpa
makna.

Presiden Yudhoyono merujuk kasus IPDN sebagai puncak gunung es.
Sebenarnya, bukan hanya satu. IPDN “kebetulan” puncak yang dramatis.
Masih banyak yang potensial berdampak destruktif dan tidak kurang
dramatis. Semua mencuat dari gunung yang sama: panas dan ganas.

Sejak konstitusi mengamanahkan pencerdasan kehidupan bangsa, secara
instan kita percaya telah menjadi bangsa cerdas. Praktis, tidak ada
lagi yang hirau merumuskan rujukan cerdasnya dan berbudayanya
bangsa. Karena itu, kasus guru yang diketahui gemar menyepak murid,
tetapi berdalih tidak bersalah karena menganggap metode primitif itu
wajar dan sudah membudaya, memenuhi kriteria sebagai kriminalisasi.

Banyaknya anomali dunia pendidikan mengindikasikan kita telah salah
sasaran. Kita ada di dalam tirani memecahkan kesalahan dengan
kesalahan, rabun membedakan mana yang batil dan yang hak. Kita
merasa maju. Tetapi, apakah alasan waras yang dapat digunakan untuk
menyimpulkan bahwa pencapaian pendidikan kita menggembirakan? Apakah
kita berjalan di tempat, tidak berjalan, mundur, atau semakin
mundur? Kita mulai ragu.

Tingkat kecerdasan kita stagnan, jika tidak semakin rendah. Ketika
esensi pendidikan kita tertantang, yang kita ributkan adalah
mengobok-obok sekolah. Ketika dunia mengembangkan ilmu mutakhir,
kita mempertahankan ilmu jahiliyah. Baru kemarin, kita masih melihat
dominasi ilmu santet yang mengancam Presiden Bush bila berani ke
Indonesia.

Ilmu santet tidak pernah masuk kurikulum, apakah itu Kurikulum
Berbasis Kompetensi atau lainnya. Tidak ada kurikulum yang dapat
mencegah tetap suburnya ilmu santet, dan tumpukan pengetahuan abad
kegelapan. Tanda-tanda ketidakcerdasan merajalela. Kalau kurikulum
tidak mencerdaskan, lalu mengapa dipertaruhkan?

Tiga orde politik

Tiga orde politik (Lama, Baru, Reformasi) yang lahir dari sumber
konstitusi yang sama, tetapi dengan determinasi saling
menghancurkan, menghasilkan sejarah kehancuran.

Orde Baru yang menentang Orde Lama justru melembagakan kemerosotan
secara sistemik, didukung kekuasaan doktriner antipedagogis.

Orde Reformasi (apanya?) masih belum mampu mengubah titik nadir
menjadi titik balik. Titik nadir masih menukik tajam. Apakah konsep
reformatif orde ini mengenai metafisika kemanusiaan, epistemologi,
dan aksiologi? Tidak jelas, kalau ada.

Kini, masyarakat memerkarakan pemerintahnya sendiri karena menilai
tidak aspiratif, tidak kompeten, dan kurang komitmen! Sebanyak 34
menteri yang bergiliran mengelola pendidikan dalam waktu 62 tahun
telah gagal muncul sebagai kekuatan yang sama-sama dijiwai amanah
konstitusi. Bukan karena semuanya tidak kompeten dan tidak peduli.
Sebaliknya, banyak di antara mereka amat pantas mengelola pendidikan
karena memiliki pemahaman dan komitmen kuat.

Namun, itu menjadi tidak berarti karena menteri yang tersisa lebih
tertarik pada pragmatisme politik masing-masing, tidak pada masa
depan bangsa. Antara Ki Hajar Dewantoro yang politikus nasionalis
dan Bambang Sudibyo yang sarjana akuntansi tidak mungkin terbentang
benang merah pendidikan menuju masa depan yang jelas dan bernilai
untuk dibela. Jika pencapaian pendidikan hanya begini, ini
kriminalisasi dalam skala nasional.

Depdiknas menyikapi kemerosotan pendidikan dengan sebuah Renstra dan
mengiklankan besar-besaran, “Capaian Renstra Depdiknas
Menggembirakan”.

Apa keluarbiasaannya sehingga diiklankan? Apakah karena berbagai
target tahun ini melampaui target tahun lalu? Itu penting. Tetapi
itu sudah seharusnya, dan biasa.

Jika Depdiknas bukan departemen persekolahan, apa konsepnya tentang
pendidikan berpredikat nasional? Mengapa mengutamakan target
sampingan, seperti sekolah bertaraf internasional, sekolah persiapan
pemenang Nobel, sekolah menjadi badan hukum pendidikan, sekolah
penghasil insan kamil yang kompetitif, atau sekolah dengan
pengaturan bos?

Apakah prioritas pendidikan sesempit dan sedangkal target itu?
Bagaimana dengan masalah fundamental dehumanisasi, dekulturisasi,
dan deindonesianisasi! Atau, memang tidak penting dibandingkan
realisasi badan hukum pendidikan yang kontroversial, standardisasi
setengah jadi, ujian nasional yang kian konfliktif, dan obsesi
berkompetisi yang tidak meyakinkan?

Lima puluh tahun dari sekarang, saat seluruh bangsa telah lengkap
dicerdaskan melalui strategi dan standar UN, apa yang pasti terjadi?
Jika konsep yang salah itu diteruskan, tak mustahil jutaan anak
bangsa, sepi tetapi pasti, akan terbunuh sebelum mati.
Kegairahannya, potensinya, aspirasinya, hak pribadinya, semua akan
teratrofi oleh UN. Kalau ini bukan kriminalisasi pendidikan, lalu
apa?

Oleh Winarno Surakhmad
Mantan Rektor IKIP Jakarta; Ketua Forum Profesional Pendidikan
Regional

Sumber: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/02/opini/3486015.htm

BERSAMA IT PENDIDIKAN :SEBUAH HARAPAN DAN KECEMASAN

Alhamdulillah, empat hari menjadi master of educational training yang diadakan PT Microsoft Indonesia membuat saya berkenalan lebih dalam dengan komunitas telematika pendidikan. Ternyata keliru dan bodoh kalau saya selama ini beranggapan bahwa peran IT di dunia pendidikan sebatas mendukung sistem administrasi dan manajemen pendidikan belaka. Tidak, IT telah masuk ke dalam ranah pendidikan itu sendiri, bahkan telah menjadi sistem pendidikan itu sendiri. Betapa menyenangkannya bahwa IT telah meringankan sekian banyak kerumitan pendidikan : mulai dari membuat bank soal, memeriksa PR, menilai hasil ujian, mengukur kompetensi, pembelajaran jarak jauh, atau memantau kegiatan belajar siswa.

Sebagaimana wataknya, IT telah menyederhanakan yang rumit, mengkategorikan yang acak, mengkuantifikasi yang kualitatif, mengukur yang sebelumnya kasat mata, mengkomputasi dan mengkalkulasi. Jelas, IT membantu pendidikan untuk meningkatkan validitas, mem-breakdown kriteria keberhasilan ke dalam indikator-indikator terukur, serta mengilmiahkan proses pendidikan itu sendiri : terstandard, obyektif, clear, countable dan measurable. Dan kekagumanpun terus berlanjut.

Mari kita lihat betapa IT dapat membuat segalanya menjadi mudah :

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang diluncurkan pemerintah resmi sejak 2004, telah membuat guru dan pelaku pendidikan menjadi tunggang-langgang. Karena kompetensi adalah suatu kompleks kecakapan yang utuh, nyata, serta harus dapat dirasakan dan dipertanggungjawabkan. Tapi bagi IT segalanya dapat menjadi mudah dan sederhana. Kompetensi adalah kecakapan yang berasal dari akumulasi sejumlah sub keterampilan, sebagaimana mobil Tamiya berasal dari komponen-komponen yang sebelumnya terurai : Completely Knock Down. Bukankah kompleksitas berasal dari elemen-elemen, dan kriteria dapat diturunkan ke dalam indikator-indikator terukur ? Bukankah kebenaran dapat diberikan angka satu dan kesalahan adalah nol, sedangkan sangat baik dapat diberikan angka tujuh dalam sebuah skala kualitas dari 0 sampai 9 ? Wow…

Maka, jika kita ingin mengukur kompetensi seorang siswa dibidang kesekretariatan, sedangkan kompetensi kesekretariatan meliputi elemen filling, surat-menyurat, menerima telepon, membuat jadwal, dan notolensi, dengan demikian kita dapat mengukurnya satu demi satu secara kuantitatif by IT. Bukankah lewat IT kita dapat mendesain sistem dan standard filling, letter standard form, time table standard form dan sebagainya ?. Dan, jika masing-masing sub-keterampilan tersebut mendapat nilai A, maka iapun layak diluluskan sebagai seorang sekretaris dengan predikat Cum Laude.

Sampai di sini tiba-tiba saya punya kecemasan. Bagaimanapun seorang sekretaris punya dimensi yang intangible. Dia perlu punya ketulusan, hasrat melayani, gairah dan kehangatan seorang manusia, atau satu set secretarial manner. Secretarial manner barangkali juga bisa diurai ke dalam indikator-indikator terukur. Tapi, percayalah, nilai A untuk seluruh indikator secretarial manner tidak akan menjamin bahwa ia akan menjadi sekretaris dengan manner yang baik. Saya percaya bahwa para pakar IT pendidikan sama sekali tak berpretensi bahwa IT akan menjadi segalanya untuk pendidikan. Kecemasan ini lebih disebabkan karena saya juga menyaksikan gejala IT fever, IT mania atau over IT pada sekalangan pendidik yang kebetulan baru melek IT.

TERINGAT SEJARAH PSIKOLOGIKiprah IT di pendidikan membuat saya menerawang ke sejarah psikologi nun di abad 19. Setelah melalanglang buana di ranah filsafat dan pseudo ilmiah selama berabad-abad sejak era Socrates, akhirnya psikologipun resmi masuk ke dalam keluarga besar sains. Itu berkat ulah Wilheim Wundt yang mendirikan laboratorium psikologi di Universitas Leipzig, Jerman, tahun 1879.

Sejak saat itu, psikologi dengan gagahnya keluar-masuk laboratorium. Ia bukan lagi ilmu jiwa, namun ilmu perilaku, karena perilaku lebih terukur. Kesedihan yang intangible telah bisa diurai ke dalam elemen-elemen yang empirik dan opservable seperti ekspresi murung, dagu yang tertekuk ke bawah, kelopak mata yang nyaris tertutup, dan airmata yang menetes. Psikologi konon menjadi ilmiah ketika aliran elementisme berjaya.

Berbekal elementisme, psikologi nan ilmiah pun masuk dan diterima baik di Amerika. Amerika yang pragmatis memang cocok dengan elementisme. Lalu racikan keduanya melahirkan aliran Behaviorisme. Di sini perilaku menjadi lebih terurai dan terukur. Proses pendidikan bisa dipahami dalam konteks reward dan punishment. Pavlov menilai proses conditioning pada seekor anjing dapat dilihat pada air liur yang menetes dari mulutnya. Bahkan John Watson, seorang tokoh Behaviorisme, bisa mereduksi berpikir ke dalam gerak lidah. Katanya, “Berpikir adalah gerak lidah yang tak kelihatan”. Lha…

Namun, celakanya, psikologi hampir mati suri dan kehilangan jatidiri justru ketika ia menjadi begitu “ilmiah”, eksperimental dan teknis. Betapa tidak jika psikologi-pun bahkan bukan lagi ilmu jiwa, tapi ilmu perilaku. Sementara itu kemanusiaan dan kepribadian yang begitu unik, utuh dan kompleks telah mengalami penyederhanaan, reduksi dan pengaplingan. Individu kemudian hanya bisa dikaji dalam wilayah-wilayah yang empirik-rasional, observable, dan terukur (setidak-tidaknya dalam definisi saat itu). Sedangkan kajian-kajian di luar standard-standard tersebut akan masuk dalam kategori takhayul atau pseudo ilmiah.

AMERICAN STYLE OF I TKembali kepada persoalan IT untuk pendidikan. Jujur saja saya memiliki kecemasan bahwa prinsip dan program yang ditawarkan IT untuk pendidikan terlalu American. Aroma elementisme, simplifikasi dan reduksionisme terlalu kental, serta cenderung mengenyampingkan tradisi dan budaya pendidikan yang ada. Distance learning, misalnya, adalah sumbangan IT yang luar biasa dalam mengatasi kendala ruang dan waktu bagi pendidikan. Namun apakah kita telah cukup memiliki tradisi dan budaya belajar yang mandiri ?

Banyak contoh yang mengajarkan dan mengingatkan kita betapa mengadaptasi suatu sistem dan pendekatan tanpa memahami latar belakang sistem nilai, filosofi dan psikohistorisnya akan menjerumuskan kita pada peniruan yang berbahaya. Kita telah meniru sistem evaluasi dengan pendekatan multiple choices (pilihan ganda) yang sangat American dan meninggalkan ujian lisan dan essay yang European. Putusan itu sangat pragmatis, simplifikatif dan reduksionis.

APAKAH I T PUNYA MAZHAB ?Pernyataan ini berangkat dari kesadaran bahwa IT adalah teknologi, teknologi adalah anak kandung dari sains, sedangkan sains adalah anak kandung dari filsafat. Secara filsafat keilmuan bukankah setiap ilmu memiliki dasar ontologisnya sendiri ? Secara filsafat keilmuan bukankah setiap teknologi memiliki asumsi aksiologisnya sendiri ? Bukankah yang membedakan antara cara kerja jamu dengan obat-obatan farmakologis terletak pada landasan ontologisnya tentang tubuh manusia ? Maka, kedokteran Barat dan kedokteran Cina adalah dua mazhab yang berbeda karena landasan ontologis yang berbeda.

Terus terang, saya adalah orang yang awam tentang IT. Dan sejumlah pelaku IT berusaha meyakinkan saya bahwa (hingga saat ini) IT tidak memiliki mazhab. Tapi secara filosofis dan experiential saya meyakini bahwa IT memiliki mazhab. Dan mazhab yang sangat berkuasa saat ini adalah American Style of IT nan elementik, simplisistik, reduksionik, analitik, deskriptif, kuantitatif, obyektif, biner, dan linier.

Keyakinan ini berangkat dari pengalaman persentuhan psikologi dengan IT. Pada awalnya, ketika psikologi bersentuhan dengan IT yang American, betapa tugas diagnostik para psikolog menjadi begitu ”diringankan”, karena skor IQ seseorang dapat diperoleh dalam hitungan detik, sedangkan dinamika kepribadian seseorang telah tercetak dalam bentuk diagram dan uraian hanya dalam hitungan menit. Bahkan, lewat ”bantuan” IT tes gambar pohon (Baum Test) sudah bisa dibuat multiple choices oleh seorang psikolog yang ”nakal”, dan diagnosisnya telah dapat dibaca beberapa menit kemudian !

Untunglah, bersamaan dengan itu, IT yang lebih European juga hadir untuk menawarkan alternatif. Mereka menawarkan jasa IT yang lebih kualitatif, humanis, inferensial, multi-interpretatif, multi-dimensi, dan intersubyektif. Mereka menawarkan jasa pengambilan dan pengolahan data, namun memberikan kewenangan sepenuhnya kepada para psikolog untuk menyimpulkan dan menginterpretasikannya. Jika IT yang American menjanjikan kepastian, maka IT yang European ini menawarkan kemungkinan !. Jika American IT mencoba menawarkan sebuah pedang sakti, maka European IT tetap mengakui kehandalan Sang Pendekar. Secara teknis sama sekali tak ada perbedaan antara yang American atau yang European. Namun secara teknologis perbedaan ontologi, aksiologi dan style diantara keduanya begitu kentara.

Tulisan cukup panjang ini sebenarnya hanyalah undangan kepada para pelaku pendidikan dan IT pendidikan untuk berdiskusi sekaligus tawaran untuk melihat kemungkinan bahwa teknologi tak pernah sepenuhnya bebas nilai. Determinasi IT ke ranah pendidikan harus diterima dengan riang dan tangan terbuka karena faktanya memang sangat berguna, namun sekaligus perlu dimaknai dan dijalankan dengan kearifan lokal. Setidaknya, kehadirannya harus menawarkan sejumlah alternatif ontologis dan aksiologis agar pendidikan tetap memiliki hak untuk memilah dan memilih tawaran yang paling memberdayakan bagi pendidikan Indonesia yang tak kunjung punya watak dan mampu membangkitkan kualitas sumber daya manusia yang terpuruk.

This article is available at http://emelci.or.id/groups/PendidikanKehidupan/ITSocialMediaForEdu/docs/bersama-it-pendidikan-sebuah-harapan-dan-kecemasan
All of the interesting discussions are copied in bellow :

Harry Santosa jazakallahu ustadz 🙂 great post!June 6 at 12:29pm · Like

Sabrul Jamil Menarik sekali (seperti biasanya sih). Belum bisa komen banyak, kecuali, sebagai pekerja IT, segagah apa pun saya (ehm), selama ini saya tetap melihat posisi IT adalah senjata di tangan seorang eksekutor. Mau digunakan untuk apa, bagaimana, dan dengan alasan apa, tergantung si penggenggamnya. (Paling2, kalo saya enggak sreg, sy tinggal bilang: ente cari orang lain aja ya buat ngerjain 😀 )June 6 at 2:06pm · Unlike · 3

Eko Budhi Suprasetiawan Colek Bayu Widyasanyata :)June 6 at 2:29pm · Unlike · 1

Bayu Widyasanyata Alhamdulillah.. inline dng “email-nya” 🙂 — Memang Allah sang Maha “Sutradara”…June 6 at 2:44pm · Unlike · 1

Deddy Rahman pak Adriano Rusfi, bisa kasi contoh software apa yg pake IT American dan yg pake IT European ? kalo ga pake contoh, saya ga faham maksud tulisan diatas :)June 6 at 4:36pm · LikeHarry Santosa mas Bayu Widyasanyata , ini artikel yg dijanjikan ustadz Adriano Rusfi terkait sharing expert utk pendidikan. Mungkin perlu dikembangkan lagi.June 6 at 8:21pm · Like

Adriano Rusfi Mas Deddy Rahman, tentang American IT dan European IT, itu baru dugaan-dugaan saya saja. Justru saya ingin mengajak berdiskusi (sejak 2005) : Apakah IT punya madzhab ? Perasaan saya, praktek IT di dunia pendidikan saat ini sangat “American” : biner, elementisme, reduksionis, simplifikasi, kuantitatif dsb.

Nah, di dunia Psikologi, adanya perasaan bahwa ada “American IT” dan “European IT” karena ada dua model sistem aplikasi dan pengolah data :

Pertama : langsung menghasilkan skor, penilaian, judgement, kategori, klasifikasi dsb. Seolah-olah komputer telah menggantikan psikolog. Model ini menawarkan kepastian. Ini yang saya bilang berbau American

Kedua : sifatnya memberikan information and diagnosis support. Yang dikeluarkan biasanya adalah grafik, preferensi, asusmsi dsb. Informasi yang dihasilkannya sangat membuka mata untuk mengambil keputusan. Model ini menawarkan kemungkinan. Karena kebetulan model ini buatan Jerman, maka saya anggap saja sebagai “European IT”June 7 at 9:39pm · Unlike · 5

Sabrul Jamil imho, menurut kebiasaan saya selama ini, IT lebih bersifat memberikan apa yang diminta oleh User. Begitu ust Adriano Rusfi. Jadi, mungkin saja, pekerja IT yg sama, satu saat mengerjakan order dari amrik, dan beberapa bulan kemudian, dia mengerjakan order dari europe. Tentang mazhab, paling2 yg ada adalah open source versus di luar itu :)June 8 at 5:44am · Like · 1

Sabrul Jamil oya, soal open source vs selainnya, sy mengenal orang2 IT yang menganggap ini sudah semacam ideologi, jadi lebih dari sekedar mazhab :DJune 8 at 5:45am · Unlike · 1

Sabrul Jamil bang Deddy Rahman: katapedia masuk kategori amrik or eropah? ;)June 8 at 5:49am · Like

Deddy Rahman Katapedia masuk kategori IT Depok :DJune 8 at 2:59pm · Like

Adriano Rusfi Kalo begitu, kita sebut saja IT Style Mas Sabrul Jamil : American, European atau Confucian Style of IT. Yang bikin sih bisa siapa saja : Depok, Aachen atau Detroit.

Kalau produknya cenderung biner, elementisme, reduksionis, simplifikasi, kuantitatif dsb., maka kita sebut saya American Style of IT. Kalo produknya bersifat induksionis, informatif, suportif, kualitatif dsb. maka kita sebut saja European Style of IT

Di sebuah lembaga konsultan IT yang pernah saya konsultani selama dua tahun, agar lembaga tersebut tak sekadar memenuhi pesanan user, saya mungusulkan perubahan positioning : from IT Consulting, to IT-based ConsultingJune 9 at 9:38pm · Unlike · 4

Rahmat Saripudin menarik sekali tulisan bang aad… saya hanya share beberapa hal:IT bisa menjadi alat, base, sistem maupun budaya… hanya saja, sadar atau tidak kita sudah mulai memasuki “budaya IT”.. bahkan hingga ke pelosok nun jauh di sana… yang menjadi tantangan selanjutnya adalah, bagaimana menjadikan IT, budaya IT, pendidikan, budaya pendidikan, budaya IT di pendidikan, atau IT-nisasi Pendidikan menjadi sepadu sepadan dalam mewujudkan BUDAYA BELAJAR… hal lain yang juga ingin saya share (gak enak kalau nerima terus ya, gak pake share 🙂 ) … bagaimana sebuah sekolah (atau intitsi pendidikan lainnya) dari semula yang tidak mengenal IT, lalu menggunakan perangkat IT untuk administrasi, perangkat IT untuk pembelajaran, perangkat IT untuk sumber belajar, It untuk administrasi menjadi sebuah institusi yang menjadikan budaya IT dan budaya belajar berjalan seiring… semua perangkat, resorces perlu dibangun dalam sebuah “roadmap” yang jelas… kalau ada institusi yang mengaku “berbasis IT” perlu dipastikan apa yang dimaksud “berbasis IT”? — so, kita bisa memandang IT sebagai “alat”, sistem, budaya atau apa saja… sangat tergantung pada “kemauan dan kemampuan serta fokus” perubahan kita… saya ikut distance learning untuk sebuah di sini untuk menambah “knowledege dan skill” saya di sini, yang saya alami kita memerlukan: budaya belajar dan budaya IT yang seiring sejalan untuk ketercapaian pembelajaran… sekaligus juga bagi “perancang sistemnya”…. bukan semata “menyediakan” namun juga harus merancang terbentuknya “budaya IT dan budaya belajar”…June 10 at 1:55am · Unlike · 3

Ellen Kristi menarik sekali, pak Adriano! saya setuju, secara filosofis tak mungkin ada suatu pemikiran yang tak punya landasan metafisik. orang yang bilang bahwa IT tidak punya mazhab mungkin adalah kaum positivis yang tidak menyadari pernyataannya itu adalah suatu mazhab tersendiri. masalahnya barangkali adalah banyak teknolog dan ilmuwan yang tidak berkelana cukup jauh ke tataran filosofis bidang kepakarannya.June 10 at 9:10am · Unlike · 2Harry Santosa wah ini minat saya mba Ellen Kristi , selalu ada kajian filosofis di balik fenomena dan tindakan. Dalam banyak bangsa2 dimana pendidikan hanya mendidik kaum “koeli”, maka seringkali filosofi menjadi tidak penting.

Saya jadi ingat tulisan seseorang yg mengkritisi penerapan high-tech di Indonesia yang tidak selaras dengan budaya dan perubahan sosial.June 10 at 9:21am · Like

Sabrul Jamil Hahaha .. besar kemungkinan sy termasuk IT Koeli tsb, yg cuma ngerti aspek teknis dari pekerjaan saya :DJune 10 at 6:28pm · Unlike · 1Harry Santosa sama dong ustadz Sabrul Jamil :-)June 10 at 6:37pm · Like · 1

Adriano Rusfi Mas Harry Santosa, Deddy Rahman dan Sabrul Jamil, sebulan yang lalu saya mendesain Mapping and Charting Ability Test, untuk meng-assess calon tenaga Outsourcing untuk programmer di sebuah perusahan minyak asing besar (55 orang), dengan masa kerja terendah 3 tahun. Ternyata skor tertingginya 32 (skala 0 – 100).

Ada lima aspek yang saya nilai : Clearness, Systematic, Comprehensiveness, Integration, and Direction. Tampaknya masalah besar terdapat pada aspek Integration (skor maksimal : 18) dan Comprehensiveness (skor maksimal : 23)

Tampaknya memang kedua faktor ini yang menyebabkan dunia IT di Indonesia kehilangan visi dan perspektif : hanya mengeksekusi order, dan nggak punya Indonesian Style of ITJune 11 at 12:55am · Unlike · 3

Adriano Rusfi Terus ditunggu sharingnya akh Rahmat Saripudin. Kita perlu mengkonsep The Indonesian Style of Educational IT. Semoga kekeliruan kita saat belajar konsep SKS ke Amerika tak terjadi lagi : Belajar prosedur dan manajemen SKS, tapi nggak belajar filosofi dan konsep SKS.

Akhirnya sistem SKS yang dijalankan di Indonesia saat ini sangat banci : Badannya Anglo-saxon, ruhnya ContinentJune 11 at 1:14am · Unlike · 2

Adriano Rusfi Mas Harry Santosa, di lembaga konsultan IT yang saya tangani selama 2 tahun itu, akhirnya saya tancapkan sebuah visi yang pernah saya sampaikan di group ini : “Indonizing The World with My IT-based Consulting”.

Walaupun saya sudah tidak menanganinya lagi, tapi saya sangat berharap bahwa lembaga tersebut mampu mewujudkan dua hal : Transformasi dari IT Consulting menjadi IT-based Consulting; dan mewujudkan Indonesian Style of ITJune 11 at 1:21am · Unlike · 3

Deddy Rahman Kemarin saya sempat ngobrol panjang dengan Roby Muhammad (Social Scientist, Dosen UI) di sebuah coffee shop di margonda (halah, yg ini ga penting).

Beliau memaparkan tentang IT seperti apa yg cocok untuk Indonesia. Lalu keluarlah banyak analisa…bla…bla… yang intinya:

– Indonesia tak bisa seperti silicon valley, karena budaya entrepreneurshipnya yang tidak mendukung. di Silicon Valley, kegagalan dirayakan. di indonesia, kegagalan dianggap sesuatu yang memalukan.

– Indonesia tak bisa seperti bangalore, karena karakter orang indonesia bukan scientist. di bangalore, ada ratusan ribu IT scientiest, di indonesia, bisa dihitung dengan jari.

– lalu dicari jawaban, seperti apakah karakter IT di Indonesia ? ada sedikit pencerahan, yakni banyak penelitian yang mengatakan bahwa:

>> orang Indonesia hebat secara personal, tapi tidak secara manajerial. ini membuat hampir dianggap mustahil sebuah industri IT bisa besar dan menjadi yg terhebat di dunia. Tapi, secara personal, orang Indonesia bisa melakukannya, terbukti, hampir setiap kejuaraan software di dunia selalu ada nama orang Indonesia di situ.

>> orang Indonesia itu kreatif. banyak karya2 kreatif-nya yg mendunia, walau belum bidang IT. tapi ini menunjukkan bahwa ada potensi besar yang belum tergali. saya jadi ingat iklan iwan fals ttg sebuah merek kopi, katanya: “karakter orang Indonesia: kuat, berani, dan berjiwa seni”. Terlepas dari beliau emang seorang seniman, tapi ada kebenaran pada kata2 “berjiwa seni”

setelah panjang lebar berdiskusi selama 2 jam lebih…diambillah kesimpulan sekaligus action yg harus dilakukan, terkait dengan wilayah dimana kami berada, depok. Yakni:Kami akan membangun “School of Arts” di depok. Tujuannya agar seluruh aspek pengetahuan dan teknologi yang ada di depok dan sekitarnya (baca: sekitarnya = Indonesia) akan terpengaruh dengan semangat “berjiwa seni” yang akan disebarluaskan dari sekolah tersebut. Insya Allah, bersama pakarnya, bang Lendo Novo, mimpi tersebut bisa terwujud. Amin…

Insya Allah, dengan lahirnya “School of Arts” maka akan terlahir juga IT yang berkarakter Indonesia. Tidak hanya IT, tapi seluruh bidang pengetahuan dan keahlian. Insya Allah… :)June 11 at 5:44am · Unlike · 5

Bayu Widyasanyata yang menarik.. “hebat secara personal, tapi tidak secara manajerial”, dibacanya mungkin sbg “secara teamwork” atau “kerja tim”.

penyakit utamanya kalau sulit ber-teamwork rata2 adalah HATI. tak mau dikritik, tak mau kawan maju/senang, egois, tak mau memberi/sharing ilmu, tak mau legowo/menerima, tak mau diberitahu/memberitahu, tak mau take ownership, tak mau berfikir end-to-end (kerja sendiri/soloist), dibawa ke hati / personal (bukan dipikir) dan kawan2nya yg membuat teamwork mandeg tak bergerak banyak…

yuuk kita BEKERJA BERSAMA-SAMA!June 11 at 6:27am · Unlike · 5

Ellen Kristi apakah pak Adriano Rusfi sudah pernah mengulas lebih menyeluruh tentang “badannya anglo-saxon, ruhnya continent” terkait sistem SKS? kalau ada bacaan tentang itu, saya mau simak. saya belum terlalu paham tentang statement di atas. sebagai dosen, itu akan jadi informasi yang penting sekali. mohon petunjuknya.June 11 at 6:49am · Unlike · 3

Sabrul Jamil ‎.. Makin menarik aja .. (garuk2 dagu)June 11 at 7:57am · LikeHarry Santosa sepakat mas Bayu Widyasanyata , itu akibat pendidikan sejak kecil yg lebih menghargai kehebatan individu daripada kehebatan teamwork dgn menghargai keunikan potensi masing2. Bila berjamaah adalah kewajiban dalam agama, maka pendidikan berorientasi kerja berjamaah yg menempatkan tiap anggota team sesuai keunikannya adalah keharusan :-)June 11 at 8:02am · Like · 5

Sabrul Jamil mungkin dulu kita kebanyakan nonton film Rambo ya bang ust Harry Santosa ? :DJune 11 at 8:19am · Unlike · 1

Asih Subagyo Bang Deddy Rahman : Hmm uraian yang menarik. Tetapi menurut saya, ada 1 hal lagi yang menjadi sorotan saya, yaitu ketidak mauan atau ketidak mampuan Software Company di Indonesia meng-adopt international standard, semisal CMMI. Hanya dalam hitungan jari, Software Company di Indonesia yang sudah memiliki sertifikat CMMI ini. Untuk urusan ini, tidak usah jauh2 membandingkan dengan Silicon Valley dan Bangalore, ibarat membandngkan dengan langit dan sumur. Saat ini, dengan Malaysia pun, untuk urusan men-adopt CMMI ini kita kalah jauh. Padahal dengan meng- implementasikan CMMI ini, maka urusan penyakit yang di sampaikan Mas Bayu Widyasanyata, akan tereliminir. Bedanya, Software Company di Indonesia berjuang sendiri untuk mendapatkannya, sementara Malaysia di dukung oleh Government. Disisi lain, mentalitas IT Company di Indonesia, masih sebagai pedagang ataupun broker. Paling tidak ini bisa dilihat dari IT company yang besar di Indonesia. Paling banter sebagai System Inegrator. Belum ada yang berani untuk berinvestasi membuat product kebanggan Inonodesia. ‘Ala kulli hal, masih banyak PR kita, untuk menjadikan IT kita, menjadi pemenang di negeri sendiri. *kamisedangtertatih-tatihuntukmendapatkanCMMI#2InsyaAllah2tahunlagi#June 11 at 9:38am · Unlike · 6

Asih Subagyo Berikut link untuk melihat IT Company yang sudah lolos penilaian CMMI, bisa di lihat by country maupun level. Sila kunjungi : https://sas.sei.cmu.edu/pars/pars.aspx .June 11 at 12:22pm · Like

Sabrul Jamil Kalo mau tahu tentang CMMI nya terlebih dahulu, link mana yg for dummy mas Asih Subagyo ?June 11 at 12:23pm · Like

Asih Subagyo disini : http://www.sei.cmu.edu/

Software Engineering Institutewww.sei.cmu.eduSEI Home PageJune 11 at 12:28pm · Unlike · 2 ·

Rida Hidayati Bang Deddy Rahman….kapan itu jadinya ??? o iya, kalau yg keahliannya mikrotronika macam kak Riza Muhida itu bisakah diintegrasikan juga ke sana ???June 11 at 3:42pm · Unlike · 2

Deddy Rahman Asih Subagyo saya pernah mengimplementasikan CMMI level 2 di project Cikarang Listrindo… hasilnya, para manajer CL benar2 kagum dengan hasil kerja kami yg luar biasa, padahal mereka punya puluhan vendor software lainnya…itu baru CMMI Level 2 (yg gak perlu sertifikasi), gimana kalo CMMI level 5… heheheJune 11 at 5:16pm · Like

Deddy Rahman pernyataan saya ttg ” hebat secara personal, tapi tidak secara manajerial”… mohon tidak dianggap sebagai sebuah kesalahan pendidikan apalagi kesalahan hati 🙂 … bukan itu yg saya maksud, tapi lebih dari karakter dasar orang Indonesia yg udah ada di-DNA-nya bangsa ini. mohon tidak melihatnya secara negatif, tapi lihatlah ini sbg sebuah potensi untuk membangun bangsa, bukan dari model korporasi raksasa, tapi dari ukm-ukm yg begitu kuat, llincah, dan kreatif… yg jumlahnya bisa jutaan di negeri ini. Kalo itu terjadi, insya Allah, bangsa ini akan jadi bangsa yang membuat iri bangsa2 lain… selama kita tidak memahami karakter bangsa sendiri, dan mengukurnya dgn alat ukur yg disediakan oleh buku2 manajerial barat, maka selamanya kita bermasalah dalam pengelolaan bangsa ini…. ***wuih, udah kayak orator ulung aja nih gw 😀 ***June 11 at 5:25pm · Like · 2

Deddy Rahman ‎Rida Hidayati sangat bisa bunda… anak2 bunda akan menghasilkan robot2 kreatif dan tepat guna bagi permasalahan bangsa ini… dan yg menarik adalah robotnya akan bercitarasa indonesia… hehehe. para pendiri ITB sudah memahami hal ini, itu sebabnya di ITB ada 3 kelompok studi besar: science-teknologi-seni… ke-tiga-nya tidak bisa dipisahkan. Bila dipisahkan, maka akan ada ketidakharmonisan. Itu sebabnya slogan ITB: in harmonio progressio… :)June 11 at 5:31pm · Unlike · 3

Rida Hidayati Aamiin, Fahri sudah mantap akan magang sama Pak Endri Rachman dulu-kalau nanti kumpul minimal 25 anak saya akan buka kelas lagi sama Kak Riza untuk tetap belajar dasar2 elektronika nya(sedang saya kumpulkan anak2nya), bukan tidak mungkin kita nanti bisa kerjasama ya ^^June 11 at 5:45pm · Unlike · 2

Rida Hidayati Mohon kalau punya teman yg anaknya bersedia digabungkan silahkan ya….standarnya, anak mau berproses- ortu sia nak tidak buru2 mau menyaksikan anaknya jadi juara berbagai lomba (walaupun tetap akan saya update utk memotivasi) dan ketemu dulu-buat komitmen, ditungu ya :)June 11 at 5:53pm · Unlike · 2

Adriano Rusfi Mas Deddy Rahman, gara-gara comment antum yang luar biasa tentang “Indonesian Style of IT”, saya jadi buka sedikit rahasia nih, untuk mendukung kesimpulan antum.

Konsultan IT yang saya konsultani selama 2 tahun itu nama depannya Myindo : My dan Indo – Aku dan Indonesia. Bukan OurIndo. Jadi, memang benar banget, sangat Indonesia, sangat nyeni, sangat gue. Dan setuju juga, belum tentu ini kelemahan.

Makanya, sadar bahwa ini boleh jadi merupakan DNA, dengan sengaja saya bikinin motto buat lembaga tersebut :

“Create solution so IndoneTIa…”June 12 at 8:29pm · Unlike · 2

Deddy Rahman alhamdulillah pak Adriano Rusfi… :-)June 12 at 8:31pm · Unlike · 1Harry Santosa Ustadz Adriano Rusfi …makin yakin bhw makin “gue banget” dalam semua diimensi, atau makin clear DNA sebuah organisme makin memiiliki jalan sukses menuju manfaat yg besar.

Bagaimana bila membuat workshop berkala bagi sekolah2/organisasi/bidang utk menemukan DNA nya? :-)June 12 at 8:36pm · Like · 1

Adriano Rusfi Bu Ellen Kristi, sekitar tahun 90-an saya membaca sebuah buku keluaran Unika Atmajaya tentang Sistem SKS. Sayang judul dan penulisnya saya lupa. (Andreas Harefa ???)

Isinya luar biasa : tentang filosofi, hakekat, prinsip, konsep dan metodologi SKS. Intinya : SKS adalah sebuah sistem prasmanan untuk meracik berbagai kompetensi, yang diurai ke dalam satuan kredit. Konsepnya sangat Anglo-saxon

Pertanyaan pertama : anda ingin punya kompetensi apa ? BUKAN anda ingin jadi sarjana apa ?

Pertanyaan kedua : Jika ingin memiliki kompetensi tersebut, unsur kecakapan apa saja yang harus anda kuasai dan bagaimana komposisi (KREDIT) dari masing-masing unsur tersebut ?

Pertanyaan ketiga : Di fakultas/jurusan/program studi mana anda dapat mempelajari unsur-unsur kecakapan tersebut, baik unsur utamanya (major) maupun unsur pendukungnya (minor) ?

(Fakultas yang menjadi majorlah yang berhak memberikan gelar terhadap kompetensi tersebut)

Pertanyaan ke empat : Jika di universitas/institut anda tak tersedia unsur tertentu yang melengkapi komposisi kompetensi anda, di kampus mana anda bisa dapatkan ?

Konsep SKS ini sebenarnya luar biasa selama memenuhi 2 syarat utama : Universitas benar-benar telah menjadi universe (semesta yang menyatu), bukan sekadar amount of faculties; Pembelajarnya harus mampu melakukan self-learning integration, atau memiliki seorang mentor yang menjadi learning integrator

Apakah perguruan tinggi di Indonesia telah memahami seluruh hakekat SKS dan memenuhi kedua syarat utama ini ? Kenyataannya, Indonesia hanya mengadopsi sisi teknis administratif dari Sistem SKSJune 12 at 8:50pm · Unlike · 2

Adriano Rusfi Insya Allah bisa Mas Harry Santosa. Insya Akhir September di Malang akan dimulai dengan seminar “Menemukan DNA dan Merancang Kurikulum”June 12 at 8:57pm · Unlike · 1

Ellen Kristi sekarang paham konsep anglo-saxon, pak Adriano Rusfi. nanti saya cari tambahan informasi sendiri soal itu. kemudian yang continental, konsep umumnya bagaimana dan letak perbedaannya di mana?June 13 at 4:04am · Unlike · 1

Ellen Kristi seandainya workshop pak Adriano Rusfi itu terbuka untuk umum, saya tertarik untuk ikut. menunggu share informasi lebih lanjut tentang itu, pak.June 13 at 4:05am · Unlike · 1Harry Santosa mba Ellen Kristi , jika berminat kita bisa bekerjasama menyelenggarakan acara tsb di Jakarta , any suggest?June 13 at 5:55am · Like

Ellen Kristi masalahnya domisili saya di semarang, pak Harry Santosa. tapi kalau ada yang bisa saya bantu, saya siap.June 13 at 6:36am · Unlike · 1Harry Santosa Setuju, bikin di Semarang juga Ok mba Ellen Kristi 🙂 , tadinya kami memang berencana akan study tour ke Salatiga dan Jogja, namun waktunya belum pas.

Utk workshop Education DNA ini bisa juga rangkaian acara Jakarta, Bekasi, Bandung, Semarang, Salatiga, Jogja. Nanti kita rancang bareng dengan pak Adriano RusfiJune 13 at 6:52am · Like · 1Harry Santosa bang Deddy Rahman , saya mulai menangkap relasi yg dimaksud oleh social scientist ttg karakter bangsa Indoneisa, lalu tiba2 disimpulkan di akhir pembicaraan dengan akan membuat “school of art”. Saya kira sebagai ahli sosial dan budaya, beliau melihat bahwa pembangunan bangsa ini harus konteks dengan kearifan lokal yg dimilikinya, dalam hal ini adalah kekhasan indonesia, dan yg mudah terlihat adalah keanekaragaman budaya (mudah2an termasuk keanekaragaman hayati dsbnya).

Saya sepakat bahwa kemampuan personal tidak dibenturkan dengan kemampuan managerial, saya juga sepakat UKM yang banyak tangguh dan kreatif akan sangat membantu bangsa ini hebat.

Namun kemampuan TeamWork termasuk didalamnya network yang saling berkelindan (mirip neural network) sangat diperlukan utk membangun sebuah orkestrasi yg indah dari beragam keunikan dan kreatifitas masing UKM. Bukankah demikian? Nah saya melihat pendidikan Indonesia, atas semua konsep di atas, ttg keanekaragaman budaya, keanekaragaman hayati, kekhasan Indonesia, kemampuan orchestrating sama sekali tdk dikulturkan dan dikurikulerkan. Begitu bukan?June 13 at 3:26pm

By Harry Santosa in Millenial Learning Center (Files) ·
Written by Adriano Rusfy

Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal Sebagai Pondasi Dasar Pemberdayaan Masyarakat

“Problema anak nelayan adalah, apabila pergi ke sekolah dia tidak bisa pergi ke laut membantu keluarganya. Sebailiknya jika melaut membantu orang tuanya, maka tidak bisa ke sekolah. Pertanyaannya adalah mengapa Melaut tidak menjadi program pendidikan untuk anak nelayan. Sesungguhnya banyak yang bisa dipelari dan dikembangkan dari kehidupan pesisir dan laut: ilmu perbintangan, ilmu perikanan, ilmu pembuatan kapal, ilmu konservasi alam dan hutan mangrove, ilmu menghasilkan energi dari angin dan gelombang air laut dsbnya. Sesungguhnya dengan model pendidikan spt itu, anak-anak nelayan bisa tampil mandiri pada usia belasan tahun lalu kemudian mampu memberdayakan desa2 nelayan””

Sinergi antara dunia pendidikan dengan dunia riil di masyarakat sangat dibutuhkan. Pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan di sekolah perlu juga dikembangkan di tengah-tengah masyarakat agar relevan dan sinergis dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dengan harapan pendidikan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik dari sisi pengetahuan maupun penyelesaian masalah kontekstual yang dihadapi sehari-hari. Selama ini pendidikan belum bisa memenuhi semua tuntutan masyarakat, terutama bidang keterampilan hidup sesuai kondisi lokal hidup siswa. Materi pembelajaran sering tidak sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Konsekuensinya, setelah lulus sekolah siswa tidak bisa langsung menerapkan teori yang didapatkan dari sekolah.

Diketahui bersama, pendidikan sangat erat kaitannya dengan transformasi sosial. Sebab pendidikan juga bagian dari sistem sosial. Relevansi antara dunia pendidikan dengan dunia riil menjadi kebutuhan mendesak untuk direalisasikan. Inovasi pendidikan telah dilakukan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Inovasi ini tidak hanya tataran konseptual strategik tetapi juga terjadi proses inovasi pada tataran praktis. Mulai dari kurikulum, pola manajemen, pembelajaran, hingga promosi lulusan lembaga pendidikan pada setiap jenjang.

Perbaikan pada sistem pendidikan selama ini, masih perlu pengembangan yang lebih komprehensif. Sehingga pendidikan dapat menyentuh dan sinergi dengan dinamika sosial yang berlangsung. Fenomena yang terjadi, antara dunia pendidikan dan perkembangan masyarakat tidak relevan. Kebutuhan masyarakat belum bisa diwujudkan sepenuhnya oleh lembaga pendidikan. Di antara indikator masalah ini adalah, lulusan Lembaga Pendidikan belum siap pakai karena hanya menguasai teori, dan miskin keterampilan. Selain itu juga disebabkan materi pendidikan tidak sesuai potensi daerah dimana siswa bertempat tinggal. Materi pelajaran dan konteks kehidupan siswa pun tidak ada kesesuaian. Sehingga transformasi pendidikan dalam kehidupan siswa mengalami bias tujuan (utopis). Untuk itu, sekolah berkeunggulan lokal dibutuhkan sebagai alternatif menutup kesenjangan tesebut.

Untuk itu, daerah-daerah kabupaten harus memiliki Lembaga Pendidikan yang menjadi pilot project untuk mengembangkan potensi daerah, agar sumber daya lokal yang telah dimiliki dapat digunakan untuk kebutuhan masyarakat (siswa) dan daerah itu sendiri. Langkah tersebut harus ditanggapi oleh pemerintah terkait sebagai usaha kongkrit dalam pembangunan dan pengembangan potensi daerah. Masyarakat harus dilibatkan untuk berperan aktif untuk sama-sama mewujudkan pendidikan berbasis keunggulan lokal agar bermanfaat bagi kesejahteraan daerah (pemerintah) dan masyarakat. Hal ini merupakan panggilan untuk meningkatan kapasitas masyarakat yang berdaya, kalau pun tidak, pemerintah dan masyarakat harus melakukan sesuatu untuk mempertahankan potensi yang ada.

Konsep Sekolah Berkeunggulan Lokal

Setiap daerah memiliki potensi dan keragaman karya yang dihasilkan sebagai ciri khas daerah tersebut. Misalnya, di Dompu ada keunggulan keunggulan di bidang pertanian dan peternakan, yaitu padi, kambing, sapi dan Kuda. Di Bima ada keunggulan lokal bahari dan pertanian, Sumbawa ada pertambangan dan peternakan, Lombok ada pariwisata dan pertanian, serta keunggulan lokal di daerah lain. Satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal merupakan paradigma baru pendidikan untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah berdasarkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal.

Dalam hal ini pewilayahan komoditas harus diselaraskan dengan lokalisasi pendidikan dengan basis keunggulan lokal. Hak ini bukan saja berkaitan dengan kurikulum yang memperhatikan muatan lokal (UU Sisdiknas pasal 37 ayat 1 huruf j), melainkan lebih memperjelas spesialisasi peserta didik, untuk segera memasuki dunia kerja di lingkungan terdekatnya. Dengan demikian persoalan penyediaan tenaga kerja dengan mudah teratasi dan bahkan dapat tercipta secara otomatis.

Keunggulan lokal di sini dapat diartikan segala potensi dan karya di suatu daerah yang menjadi karakteristik daerah tersebut. Keunggulan lokal ini juga berarti sumberdaya (resources) alam dan manusia yang terdapat di suatu daerah. Keunggulan lokal ini merupakan paduan dari pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan kemampuan untuk menyesuaikan pendidikan dengan kondisi aktual di setiap daerah.

Sehingga pembelajaran menjadi aktual dan mengarah pada pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat setempat. Dengan demikian keunggulan lokal merupakan ciri khas daerah yang dihasilkan dari potensi alam dan potensi manusia yang ada di suatu daerah. Keunggulan lokal inilah yang menjadi bahan untuk terus dikembangkan setiap daerah sehingga menjadi kumpulan potensi yang telah dikembangkan dan menjadi barometer pengembangan daerah setempat.

Pengembangan bidang pendidikan telah menjadi hal penting dalam rancangan pembangunan nasional. Bahwa, keberhasilan pendidikan akan berpengaruh terhadap peningkatan sektor lain secara simultan. Untuk itu, dalam pengembangan ini, sekolah perlu melakukan kajian dengan melibatkan semua stakeholder pendidikan untuk merumuskan bersama tentang keunggulan lokal yang akan dimasukkan dalam pendidikan berbasis potensi daerah. Sehingga keunggulan lokal terintegrasi dalam materi belajar yang disusun sesuai jenjang pendidikan siswa. Bahkan jika memungkinkan materi keunggulan lokal menjadi integral dengan kurikulum nasional berciri khas lokal.

Model penyelenggaraan pendidikan yang mempertimbangkan keuntungan geografis dan demografis inilah yang bisa mewujudkan pendidikan nyata. Yaitu pendidikan yang dikelola sesuai kebutuhan lokal masyarakat. Penyesuaian materi dengan kebutuhan lokal dipadukan dalam praktek pendidikan. Sebab, tujuan pendidikan adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat sosial. Model pendidikan inilah yang diharapkan bisa mengakomodir segala kebutuhan masyarakat. Pendidikan model ini berangkat dari analisis potensi lokal pada setiap daerah yang karakteristiknya berbeda.

Ditinjau dari fungsinya, pendidikan merupakan salah satu lembaga pelayanan publik bidang jasa. Sehingga pendidikan perlu meningkatkan pelayanan pada masyarakat yang salah satunya adalah dengan menyesuaikan materi pembelajaran sesuai kebutuhan masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan. Semakin tinggi kesesuaian materi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat maka akan semakin bagus pelayanan pendidikan yang diberikan pada masyarakat. Untuk itu, pendidikan perlu memanfaatkan sumberdaya lokal sebagai acuan untuk meningkatkan mutu dan layanan pendidikan. Selama ini model pendidikan Indonesia masih belum sinergi antara materi dengan kebutuhan lokal. Sehingga output lembaga pendidikan belum memiliki keterampilan, pengetahuan, dan kecakapan hidup yang memadai di tengah-tengah masyarakat.

Upaya peningkatan mutu pendidikan perlu mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu: (1) perlu kebijakan peningkatan mutu dengan mempengaruhi faktor-faktor yang berperan dalam sekolah, (2) penyelenggaraan pendidikan lebih banyak dilakukan pada tingkat satuan pendidikan, dan (3) penyesuaian kurikulum pendidikan dengan kebutuhan lokal. Pernyataan ini menuntut penyelenggaraan pendidikan yang diarahkan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal. Siswa diajarkan bagaimana cara menggali dan mengelola potensi daerah sehingga menjadi karya yang bisa memperbaiki taraf hidup masyarakat dalam berbagai bentuknya.

Dengan demikian, sekolah akan memiliki karakteristik khusus sekaligus menjadi tolak ukur kualitas pendidikan lokal. Sweetland dan Hoy (2000) mengatakan pembentukan karakteristik sekolah ini sangat penting dilakukan. Karakteristik sekolah akan menunjukkan kualitas. Pembentukan karakteristik sekolah cukup sulit dan melibatkan berbagai unsur dalam pendidikan. Dari paparan di atas menegaskan bahwa model Lembaga Pendidikan berbasis keunggulan lokal telah menjadi kebutuhan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Tentunya dengan berbagai pertimbangan, diantaranya adalah perubahan masyarakat yang cenderung menuntut keterampilan dan pengetahuan spesifik. Kebutuhan lokal menjadi salah satu tuntutan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan.

Model sekolah berbasis keunggulan ini perlu dikembangkan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Tidak hanya SMK saja, tetapi juga sangat mungkin dikembangkan pada sekolah umum dan madrasah. Sebab pendidikan saat ini perlu diarahkan pada multi skill. Sehingga lulusan bisa memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini bisa dilakukan dengan cara meningkatkan mata pelajaran keterampilan yang menjadi kebutuhan masyarakat setempat. Potensi lokal menjadi bahan pertimbangan utama dalam memilih materi pelajaran berbasis keunggulan lokal ini.

Dengan memperkuat mata pelajaran keterampilan yang mengarah pada kebutuhan masyarakat ini akan bisa meningkatkan daya eksistensi sekolah di sebuah daerah. Sebab, minat masyarakat untuk berpendidikan akan meningkat dan secara otomatis pengakuan masyarakat terhadap keberadaan pendidikan tersebut akan semakin tinggi. Dengan berbekal mutli skill maka siswa akan cepat diterima masyarakat, karena keterampilan yang dimiliki bisa dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, model pembelajaran sekolah berbasis keunggulan lokal ini harus banyak dilakukan dalam bentuk praktek dan bekerjasama dengan dunia usaha.

Salah satu ukuran keberhasilan sekolah adalah output lembaga pendidikan yang terampil dan diterima masyarakat sesuai keahlian yang didapat di lembaga pendidikan. Dengan demikian, model sekolah berbasis keunggulan lokal menjadi penting untuk direalisasikan dan dikembangkan pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Selain untuk memenuhi tuntutan masyarakat dalam menyelesaikan masalah hidup juga meningkatkan daya eksistensi sekolah di daerah.

Saya jadi teringat ucapan Imam Ghazali “…sebaik-baik ilmu adalah yang bermanfaat bagi kaumnya…”

By Harry Santosa and Windu Sundari Syafei in Millenial Learning Center

oh Indonesiaku

KALAH SEBELUM BERUNDING!

Oleh Cardiyan HIS

Kulihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matamu berlinang
Mas intanmu terkenang
Hutan gunung sawah lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang susah
Merintih dan berdoa
Kulihat ibu pertiwi
Kami datang berbakti
Lihatlah putra-putrimu
Menggembirakan ibu
Ibu kami tetap cinta
Putramu yang setia
Menjaga harta pusaka
Untuk nusa dan bangsa

“Ibu Pertiwi” oleh Ismail Marzuki

Ya ibu pertiwi memang sedang bersusah hati. Sekarang yang bisa dilakukan ibu pertiwi hanya merintih dan berdoa. Karena anak-anaknya terus-terusan menjadi pecundang. Anak-anaknya; para pemangku kekuasaan di Republik Indonesia baik di Pemerintahan maupun di Parlemen, kalah dalam berbagai perundingan khususnya dalam perjanjian pengembangan sumberdaya alam, pengembangan infrastruktur dan nyaris pada pengembangan semua sektor industri hulu dan hilir.

Padahal berbagai negara di dunia terutama negara-negara maju berusaha sungguh-sungguh mengembangkan sumberdaya manusianya dalam kemampuan berunding. Negara tetangga Singapura misalnya termasuk negara kecil yang terus-terusan mengungguli Indonesia dalam berbagai perundingan perdagangan bilateral dan yang sangat populer kasus perjanjian ekstradisi. (Cardiyan HIS, Editor, “It’s Time for the World to Change. In the Spirit of Dignity, Equity, and Transparency”, Publisher: PT. Sulaksana Watinsa Indonesia, Jakarta, 2008). Namun Korea Selatan dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan berunding yang terbaik di dunia. Mereka memiliki kemampuan unik dalam berunding bahkan dalam posisi lemah sekali pun. Ada empat faktor yang mendukung kemampuan unik ini yakni Pertama, dibekali kemampuan memahami substansi. Kedua, kemampuan menjaga emosi sampai tahap-tahap akhir perundingan. Ketiga, kemampuan membuat kejutan. Keempat, bila perundingan dengan lawannya deadlock mereka punya kemampuan bagaimana mengembalikan kepada kemurahan hati lawannya (Kang, T.W., “Is Korea the Next Japan?”, The Free Press, New York, 1989).

Sedangkan para perunding dan atau negosiator Indonesia? Kalah telak dengan Freeport McMoran. Kalah telak dengan Exxon Mobil. Kalah telak dengan Newmount. Kalah telak dengan PetroChina. Kalah telak dengan Toyota Corporation. Kalah telak dengan Temasek Group. Kalah telak dengan British American Tobacco. Untuk sekadar menyebut beberapa nama.

Bukan kalah karena para pemangku kekuasaan di Republik Indonesia bodoh tak memiliki penguasaan materi dalam menghadapi perundingan dengan MNC dan atau organisasi Multilateral. Tetapi saya menengarai mereka kalah karena harga dirinya sudah “terjual” demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Bahkan kalau ditelusuri ke hulunya, mereka secara sadar “membiarkan kekalahan” sejak dini karena Undang Undang Republik Indonesia yang semestinya menjadi payung perlindungan bagi Bangsa Indonesia sudah dimuati dan atau disusupi ayat-ayat yang membela kelompok kepentingan. Sehingga mereka akhirnya seperti perilaku “Kerbau Dicocok Hidung” dalam setiap kali berunding menghadapi MNC dan atau organisasi Multilateral.

Terlalu banyak kekalahan ini tentu saja sangat menyedihkan dan meresahkan bagi setiap Rakyat Indonesia yang sejak lama mendambakan kekayaan Rakyat Indonesia dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kesejahteraan Rakyat Indonesia. Mereka para pemangku kekuasaan seperti tak memiliki sikap kesetaraan lagi sebagai wakil Bangsa Indonesia yang Merdeka dan Berdaulat. Mereka tak memiliki roh, tak memiliki jiwa dalam substansi perundingan; yang ada adalah mental rendah diri yakni kalah sebelum berunding!

Padahal pendiri Republik Indonesia, Presiden RI Pertama Ir. Soekarno yang visinya jauh melampaui jamannya, yang misinya diimplementasikan melalui Perdana Menteri RI Ir. Djuanda (keduanya alumni ITB) juga telah menginspirasi banyak negara dalam mengelola sumberdaya alam. Bahwa Indonesia-lah pemilik sumberdaya alam bukan para perusahaan asing. Jadi sudah sepantasnya Indonesia memiliki posisi tawar yang setara dengan mereka. Bahwa mereka benar memiliki uang dan teknologi tetapi posisi mereka dalam berbisnis di Indonesia walau bagaimana pun adalah tetap hanya sebagai KONTRAKTOR BUKAN PEMILIK.

Saya berharap, dalam skala Indonesia Incorporated, para pemangku kekuasaan di Jakarta seharusnya lebih percaya diri dalam membuat kebijakan. Hilangkanlah kepentingan pribadi dan kelompok. Yang harus di ke depankan adalah bekerja untuk kepentingan Rakyat Indonesia semata. Bila roh substansi pro Rakyat Indonesia dalam setiap perjanjian atau perundingan ini sudah menyatu dalam jiwa para pemangku kekuasaan tak akan ada satu pun MNC dan atau organisasi Multilateral yang akan melecehkan harga diri Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia adalah sebenar-benarnya memang Bangsa Pejuang bukan Bangsa yang mudah diinjak-injak harga dirinya.

Berharap kepada Kampus?

Jadi sangatlah sulit kita berharap kepada para pemangku kekuasaan di Republik Indonesia untuk mengubah mental pecundangnya begitu saja, dalam jangka pendek bahkan dalam jangka panjang sekalipun. Kita agaknya hanya menyisakan harapan kepada kampus yang setidaknya masih memiliki karakter sebagai penjaga nilai-nilai; yang akan mampu mengubah paradigma mentalitet pecundang ke mentalitet unggulan secara mendasar dan berjangka panjang jauh ke depan. Kampus yang masih memandang bahwa proses pendidikan berkarakter adalah jauh lebih penting dari proses pengajaran karena kampus bukan lembaga ujian.

Sebagai salah seorang yang pernah digodok di kawah Candradimuka ITB sejak tahun 1973 di masa kehidupan mahasiswa ITB yang sangat dinamis. Dan ITB sendiri masih dipandang sebagai kampus yang berkarakter kuat sebagai penjaga nilai-nilai, disamping memiliki reputasi akademik terpandang di kawasan Asia Pasifik. Maka dalam benak saya dan banyak teman-teman sudah tertanam sejak dini bahwa anak ITB sebenarnya sama saja dengan mahasiswa MIT. Mahasiswa MIT belajar Kalkulus 1 sampai Kalkulus 4 sama dengan yang dipelajari oleh mahasiswa ITB. Mahasiswa ITB belajar Fisika Dasar sampai Fisika Teoritis seperti halnya mahasiswa MIT. Begitu pula untuk banyak matakuliah lainnya; mahasiswa MIT dan ITB mempelajari ilmu yang sama.

Jadi apa sebenarnya yang membedakan mahasiswa ITB dengan mahasiswa MIT? Menurut saya bukan soal kampus MIT yang lebih luas dan fasilitas laboratoriumnya yang jauh lebih hebat di sebuah negara adidaya Amerika Serikat; tetapi lebih kepada ekspektasi mahasiswa MIT melebihi ekspektasi mahasiswa ITB.

Mahasiswa ITB memang memiliki tingkat kepercayaan diri yang sangat tinggi bahkan cenderung arogan untuk ukuran mahasiswa di Indonesia. Tetapi mahasiswa ITB belum sampai kepada tahapan mimpi yang dimiliki oleh umumnya mahasiswa MIT. Mahasiswa MIT memiliki ekspektasi sangat tinggi dalam menatap masa depannya. Kalau diibaratkan memiliki mimpi; mimpi mahasiswa MIT adalah: “to dream the impossible dream”!

Disinilah peranan Perguruan Tinggi (PT) yang mampu melakukan proses pendidikan tidak hanya pada proses pengajaran saja kepada para mahasiswanya, akan menjadi pilar-pilar yang strategis. Mahasiswa-mahasiswa yang berkarakter kuat, yang memiliki kepribadian mandiri dan penuh idealisme hanya akan tumbuh berkembang di dalam kampus yang mengedepankan proses pendidikan yang berkarakter. Tentu mendidik mahasiswa yang berkarakter tidak mudah disamping memerlukan banyak dosen yang berkarakter kuat pula, yang sangat penting adalah sikap PT itu sendiri dalam cara pandang bahwa mendidik mahasiswa jangan dianggap sebagai Cost Center dan hanya buang-buang waktu saja. Tetapi mendidik mahasiswa adalah suatu misi strategis PT dalam menyiapkan mahasiswa sebagai calon pemimpin tangguh bagi Bangsa Indonesia bermasa depan cerah.

penting bagi kita menanamkan mimpi untuk membangun peradaban.

(dipost kan oleh Lendo Novo pertengahan juni 2012)

Mampukah Riset Kita Berdiri Sejajar dengan Negara Maju?

Sebenarnya Indonesia memiliki beberapa keunggulan, yang bahkan tidak dapat disamai oleh negara maju sekalipun. “Raksasa-raksasa” riset dunia, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa tentu saja memiliki keunggulan dana yang berlimpah, fasilitas yang memadai, dan referensi yang lengkap.

Jika akhirnya Indonesia memilih berhadapan dengan mereka, dengan menggunakan pola pikir mereka juga, maka sudah dipastikan Indonesia tidak akan bisa kemana-mana. Namun, apa saja keunggulan Indonesia, dibanding “raksasa-raksasa” itu, terutama bidang yang bisa dikembangkan untuk riset? Apakah masih ada harapan untuk berdiri sejajar dengan mereka? Mari kita simak.

Pemetaan Kekuatan Riset Kita

Selama ini, Indonesia memiliki kekuatan sumber daya manusia yang luar biasa. Banyak sekali ilmuwan dan dosen lulusan luar negeri, yang memiliki pengalaman riset internasional, yang akhirnya kembali ke Indonesia. Mereka pun mengabdi di institusi masing-masing. Adapun, dengan modal SDM yang kuat itu, ada baiknya kita mulai memetakan dimana kita bisa memfokuskan diri dalam riset. Pemetaan ini penting, sebab kita harus mencari niche, dimana keunggulan kita dapat tumbuh, ditengah para raksasa riset dunia.

Biologi Kelautan: Megabiodiveristas yang Luar Biasa

Sebagian besar luas Indonesia terdiri dari laut. Di dalamnya, terdapat megabiodiversity yang luar biasa variasinya. Indonesia merupakan salah satu negara, yang memiliki terumbu karang yang paling kaya. Salah satu rekan kami, Hawis Maduppa, merupakan salah satu peneliti yang aktif dalam kajian terumbu karang. Linknya ada disini: http://bunghaw.wordpress.com/. Sebagai salah satu sumber megabiodiversity, laut kita memiliki sumber daya hayati yang berlimpah untuk berbagai keperluan, seperti pangan dan obat. Adapun masalah yang dihadapi adalah bagaimana manajemen kelautan tersebut bisa mengatasi berbagai penyimpangan yang terjadi, misalnya menggunakan bahan peledak untuk menangkap ikan, dan membangkitkan semangat entrepreneurship bagi para nelayan. Dengan pemanfaatan sumber daya hayati secara sustainable, dan tetap menjaga kelestarian ekosistem, maka Indonesia akan memiliki posisi tawar yang lebih baik dengan negara-negara maju.

Penyakit Tropis: Kajian yang Hanya Bisa Dilakukan di Negara Tropis

Demam Berdarah dan Malaria adalah penyakit mengerikan yang belum ada obatnya sampai sekarang. Vaksin masih dikembangkan, namun belum selesai. Selain itu, penyakit-penyakit ‘klasik’ di dunia tropis, seperti Kolera, disentri, dan tiphus juga tetap masih mengancam. Namun, dokter-dokter kita merupakan pakar yang sangat terlatih dalam menghadapi penyakit tropis. Dengan pengalaman ratusan tahun, dari sejak jaman kolonial Belanda, dokter kita telah menangani berbagai macam penyakit tropis. Para dokter dari negara maju, bisa dipastikan tidak akan bisa menangani penyakit tropis sebaik dokter kita, karena pengalaman mereka sehari-hari memang tidak menjumpai penyakit seperti demikian.

Cultural and Humanity Studies :Indonesia sebagai “Magnet Kultural”

Indonesia merupakan bangsa yang memiliki kekayaan budaya paling lengkap. Dengan 300 suku bangsa, yang memiliki bahasa sendiri-sendiri (bukan dialek), menjadikan Indonesia sebagai tempat paling ideal untuk studi kemanusiaan. Indonesia telah memiliki pakar ilmu kemanusiaan, seperti alm Prof Koentjaraningrat dan alm Prof Parsudi Suparlan, yang telah memberi warna bagi perkembangan sains kemanusiaan Indonesia. Dinamika sosial kemanusiaan yang luar biasa di Indonesia, seperti interaksi antar kelompok, interaksi antar suku, interaksi intra suku, dll, menjadikan Indonesia sebagai kajian yang sukar ditandingi oleh negara maju sekalipun. Justru banyak peneliti dari negara maju, yang datang ke Indonesia untuk melakukan penelitian di bidang ilmu kemanusiaan. Contoh yang paling terkenal, adalah Clifford Geertz, yang membagi Islam di Jawa menjadi tiga kelompok, santri, priayi dan abangan dan Snouck Hourgrenje, yang membedakan peran ulama dan hulubalang di Aceh. Walau teori mereka banyak dikritisi, namun hal itu sudah menjadi contoh, bahwa Indonesia memang merupakan ‘magnet kultural’ yang luar biasa. Salah satu hal yang segera harus dibenahi, adalah supaya Indonesia bisa konsisten dalam pengembangan sains kemanusiaan, sesuai dengan tradisi yang diterapkan oleh Prof Koen dan Prof Parsudi.

Political Studies : Indonesia sebagai Salah Satu Negara Demokrasi Terbesar di Dunia

Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Berbeda dengan Amerika Serikat, yang memilih presiden lewat sistim elektoral, Indonesia memilih presiden secara langsung. Setelah reformasi tahun 1998, Indonesia memiliki situasi politik yang sangat dinamis, mungkin yang paling dinamis di asia. Pemilu 2009 akan menjelang, dan situasi politik kita akan semakin dinamis. Inilah merupakan saat-saat yang paling menarik untuk melakukan kajian politik. Di era reformasi ini, banya istilah politik baru yang diperkenalkan. Salah satunya adalah ‘quick count’, dimana peneliti mengambil sampel dari pemilih untuk memprediksi siapa pemenang pemilu daerah dan nasional. Dalam kebanyakan kasus, prediksi mereka tepat.

Teknologi Informasi (TI): Dimana Open Source bisa Berperan

Hal ini sudah sangat jelas. Jika ingin melakukan penelitian yang high tech, namun dengan biaya yang sangat terjangkau, maka TI merupakan salah satu pilihan logis. Platform Linux, yang merupakan sistim operasi Open Source, telah memungkinkan dilakukannya riset TI high tech, namun dengan biaya rendah. Bahkan Indonesia telah membangun distro linux sendiri. Mengenai TI, sedang dibahas artikel saya di Netsains. Klik disini.

Demikian pembahasan saya soal ini. Jika diantara pembaca ada yang punya ide, mengenai apa ide riset yang bagus, maka saya terbuka saja. Paling tidak, dengan tulisan ini, saya berusaha ‘menggugah’, bahwa Indonesia sebenarnya masih memiliki nilai tawar yang tinggi dalam bursa riset dunia. Saya sepakat, bahwa berteriak-teriak menyalahkan kondisi riset Indonesia, yang dalam beberapa hal memiliki kelemahan, adalah tidak ada gunanya. Ada baiknya, daripada teriak-teriak menjelek-jelekkan Indonesia, kita berembuk mencari solusi untuk memperbaiki kondisi riset kita. Tulisan ini, memang dimaksudkan untuk mencari solusi, dan syukur-syukur menggugah kesadaran kita semua.

Diambil dari http://biokecops.multiply.com/

The Global Search for Education: What Will Finland Do Next?

he Global Search for Education: What Will Finland Do Next?

————-

“Sistem sekolah Finlandia tidak dapat ditransfer di tempat lain di dunia. Banyak aspek keberhasilan sistem pendidikan Finlandia berakar jauh di dalam budaya dan nilai-nilai kita (bangsa Findland)..” – Pasi Sahlberg

“Sekolah Finlandia adalah tempat “bebas-rasa takut” di mana anak-anak tidak perlu khawatir tentang persaingan, kegagalan atau prestasi yang di banyak negara dipaksa oleh pengujian standar.” – Pasi Sahlberg

“Hari ini hampir 45 persen dari anak usia 16 tahun Finlandia memilih untuk belajar di sekolah kejuruan menengah atas dan 50 persen di sekolah-sekolah akademik yang tinggi. Saya seorang penganjur jalur pembelajaran yang fleksibel yang memberikan pilihan individu pribadi untuk mempelajari apa yang mereka yakini akan membantu mereka untuk. menjadi sukses dalam hidup. ”
– Pasi Sahlberg

“Apa yang merupakan kebutuhan Finlandia pertama dan terpenting adalah keselarasan yang lebih baik tanggung jawab antara rumah dan sekolah dan mungkin sebuah program nasional yang akan membantu ibu dan ayah untuk merawat lebih baik dari anak-anak muda dan hanya mengasihi mereka lebih.” – Pasi Sahlberg

“Sebuah standar pembiayaan universal untuk sekolah, sehingga sumber daya yang disalurkan ke sekolah-sekolah sesuai dengan kebutuhan nyata: ini sangat penting dalam rangka meningkatkan pemerataan dan kualitas dalam pendidikan Amerika.” – Pasi Sahlberg

“Saya ingin melihat mendidik anak-anak [di seluruh dunia] lebih untuk merasakan empati dan sebagai Sir Ken Robinson mengatakan, menemukan bakat mereka melalui musik, seni, dan pendidikan jasmani bersama-sama dengan kurikulum akademis tradisional.” – Pasi Sahlberg

———-

Berikut adalah wawancara “The Global Search for Education”, sebuah lembaga di Amerika yang … kepada Pasi Sahlberg, seorang penulis buku yang memenangkan “University of Louisville Grawemeyer Award” pada tahun 2013, yang berjudul “Finnish Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland?” (Pelajaran Finlandia: Apa yang Bisa Dunia Belajar dari Perubahan Pendidikan di Finlandia?”

Mengejar sistematis kesejahteraan anak-anak dan kebahagiaan dalam lingkungan yang aman lebih diutamakan daripada prestasi akademik diukur di sekolah Finlandia, menurut Pasi Sahlberg,

Ini adalah buku yang banyak pendidik beralih untuk menemukan cara membuat sekolah mereka sendiri yang lebih baik. Sahlberg menjelaskan kepada saya bahwa Finlandia akan terus bekerja pada misi yang sama telah memiliki lebih dari 40 tahun: untuk memberikan akses ke berkualitas tinggi dan sekolah aman bagi semua anak tanpa memandang latar belakang keluarga mereka, domisili, bahasa ibu, atau kemampuan.

Berpikir ke depan, apa yang bisa kita pelajari dari strategi baru yang dikejar oleh reformis pendidikan Finlandia agar tetap menjadi yang terbaik?

Q: Ada beberapa faktor yang signifikan di luar kelas yang memastikan anak-anak Finlandia berkembang di sekolah. Dapatkah Anda meringkas layanan dukungan yang diberikan saat ini dan apa yang Anda pikir perlu diperbaiki?

A: Kebanyakan anak Finlandia pergi ke opsional (tidak wajib) pra-sekolah pada usia 6 dan wajib belajar dimulai pada usia 7. Saya termasuk orang yang tidak percaya bahwa mulai sekolah lebih awal dari usia 7 tahun akan benar-benar bermanfaat bagi perkembangan anak-anak kognitif atau sosial. Finlandia memiliki universal layanan penitipan anak yang disubsidi untuk publik yang memberikan hak anak ke tempat penitipan dan menawarkan mereka sebuah lingkungan untuk tumbuh dan berkembang sebagai individu tanpa tekanan prestasi akademik atau lainnya. Bermain, musik dan belajar bersama anak-anak lain adalah mode umum dari kehidupan anak-anak di tempat penitipan anak.

Aspek penting lainnya dari sekolah Finlandia adalah pengupayaan secara sistematis kesehatan mental (wellbeing) dan kebahagiaan, terutama pada tahun-tahun awal sekolah dasar. Sekolah Finlandia adalah bebas-rasa takut, tempat di mana anak-anak tidak perlu khawatir tentang persaingan atau kegagalan prestasi yang di banyak negara dipaksakan oleh pengujian standar.

Setiap sekolah di Finlandia memiliki Tim Kesehatan Mental Siswa yang memantau dan isu-isu proses yang terkait dengan perilaku, kesehatan dan perkembangan anak-anak. Ini terdiri dari kepala sekolah, guru pendidikan khusus, perawat sekolah atau dokter, psikolog dan pekerja sosial. Tujuan utama dari tim ini adalah untuk mencegah masalah yang mungkin membahayakan kesehatan mental. Guru sekolah dasar menempatkan kesehatan mental dan kebahagiaan dari murid mereka sebelum kemajuan akademis diukur.

Meskipun demikian, ada kekhawatiran di kalangan psikolog dan dokter anak bahwa kualitas hidup anak-anak di luar sekolah menurun. Beberapa berpendapat bahwa orang tua semakin meninggalkan pengasuhan anak-anak mereka ke sekolah (lebih banyak di rumah). Namun para Guru bahkan terus mendorong orang tua untuk mengambil tanggung jawab lebih untuk anak-anak mereka misalnya memberikan lebih banyak waktu dan perhatian kepada mereka di rumah.

Kebutuhan Finlandia yang pertama dan terpenting adalah keselarasan yang lebih baik antara tanggung jawab rumah dan sekolah, dan mungkin sebuah program nasional yang akan membantu ibu dan ayah untuk merawat lebih baik anak-anak muda dan hanya mengasihi mereka lebih baik. Dalam situasi ini, concern yang penting bahwa politisi Finlandia mengamankan dana yang cukup untuk layanan kesehatan mental anak di semua sekolah.

Q: Apakah ada masalah bagi beberapa negara OECD mengenai daya tampung dengan tingkat kelulusan perguruan global atau apakah juga merupakan masalah mengenai peningkatkan pilihan untuk jalur belajar sehingga lulusan juga dilengkapi dengan keterampilan yang mereka butuhkan untuk mencari pekerjaan di dunia nyata?

A: Saya seorang advokat dari jalur pembelajaran fleksibel yang memberikan pilihan individu pribadi untuk mempelajari apa yang mereka percaya akan membantu mereka untuk sukses dalam hidup. Sebagai contoh, saya berpikir bahwa sistem sekolah AS akan mendapatkan keuntungan dari sistem ganda di sekolah tinggi di mana orang-orang muda yang tertarik dalam melakukan atau membuat sesuatu dengan tangan mereka, misalnya, bisa memiliki program berkualitas tinggi kejuruan atau sekolah yang akan melengkapi mereka dengan keterampilan yang mereka butuhkan untuk mencari pekerjaan atau mempekerjakan diri mereka sendiri.

Ada sistem pendidikan di seluruh dunia, termasuk Finlandia, di mana pendidikan menengah atas memiliki trek yang berbeda untuk studi akademis klasik dan belajar profesional. Pendidikan tinggi akan menjadi lebih mudah diakses melalui pembelajaran digital segera, dan saya percaya tingkat kelulusan perguruan tinggi sebagai proxy untuk kemajuan sistem pendidikan akan kehilangan bagian dari maknanya.

Q: Dapatkah Anda berbicara tentang tujuan berpikir kedepan Finlandia dalam pendidikan kejuruan?

A: Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, Finlandia adalah salah satu dari beberapa negara Eropa dengan pilihan kompetitif untuk 16-year-olds untuk memilih kajian teknis dan kejuruan daripada untuk melanjutkan belajar akademik di sekolah tinggi yang umumnya merupakan jalan menuju derajat seni liberal. Beberapa orang berpendapat bahwa sekolah kejuruan yang kedua atau bahkan ketiga pilihan bagi orang-orang muda dan karenanya motivasi dan disiplin sering masalah di sekolah-sekolah. Tapi itu tidak perlu begitu. Nyaris 20 tahun yang lalu, pendidikan kejuruan adalah kata yang buruk antara orang tua dan banyak siswa di Finlandia. Sekitar sepertiga dari lulusan sekolah menengah lebih rendah pada waktu itu memasuki sekolah kejuruan, sebagian karena standar nilai ke sekolah akademik yang tinggi itu terlalu tinggi. Drop out dari sekolah-sekolah adalah masalah kronis. Polishing sistematis citra pendidikan kejuruan dimulai pada tahun 1990 di Finlandia.

Pertama, kurikulum di sekolah kejuruan telah disesuaikan lebih dekat dengan standar sekolah akademik yang tinggi. Hal ini membawa lebih pelajaran umum dapat diakses oleh semua siswa di sekolah kejuruan. Kedua, proporsi yang signifikan dari studi kejuruan dialihkan ke tempat kerja nyata di mana siswa dapat belajar dalam praktek pengetahuan dan keterampilan yang mereka butuhkan dalam pekerjaan masa depan mereka. Ketiga, sekolah menengah kejuruan dan akademis yang diperlukan untuk merancang dan memberikan instruksi bahwa fleksibilitas siswa diaktifkan dan lebih banyak pilihan. Hal ini telah menyebabkan peningkatan jumlah ijazah ganda ketika siswa sekolah kejuruan juga sbg mahasiswa dari sekolah tinggi akademik dan dengan demikian mendapatkan lisensi untuk diterapkan ke universitas akademik. Akhirnya, baru dibentuk sistem pendidikan tinggi non-universitas yang membuka pintu untuk lulusan sekolah kejuruan untuk belajar lebih lanjut.

Saya juga ingin menekankan peran penting bahwa bimbingan karir berperan di sekolah dasar Finlandia (kelas 1 sampai 9). Semua siswa memiliki waktu pelajaran mingguan dengan konselor karir yang berkualitas di kelas atas sekolah dasar. Siswa juga menghabiskan waktu dua minggu di tempat kerja untuk belajar (magang) tentang dunia kerja dan menguji persepsi mereka sendiri terhadap pekerjaan yang berbeda. Tujuan dari bimbingan karir adalah untuk meminimalkan pilihan yang salah dengan membuat informasi individual yang tersedia dan membantu kaum muda sebelum membuat keputusan mereka untuk studi lanjut.

Saat ini hampir 45 persen dari usia 16 tahun di Finlandia memilih untuk belajar di sekolah kejuruan menengah atas dan 50 persen di sekolah-sekolah akademik yang tinggi. Persaingan untuk beberapa program kejuruan telah menjadi sengit. Banyak stigma negatif yang memiliki sekolah kejuruan di Finlandia 20 tahun yang lalu hilang.

Q: “Belajar online mulai memberi kesempatan yang lebih baik dan meningkatk dari waktu ke waktu dan pada akhirnya menjadi cukup baik untuk menawarkan proposisi nilai kompetitif bahkan untuk kebanyakan siswa. Saat itulah sistem kelas benar-benar akan berubah.. Orangtua akan mulai menuntut hal itu.” – Clayton Christensen. Apa respons Anda terhadap argumen Clayton?

A: Saya pikir Clayton adalah visioner dan pandangannya bagaimana teknologi akan mengubah sekolah mungkin akan cukup dekat dengan prediksinya. Tapi ada skenario yang berbeda untuk bagaimana hal ini akan berperan.

Salah satu skenario adalah bahwa sekolah akan berlomba setelah penerapan teknologi dan sesudah menyelaraskan operasi inti instruksional dengan mengandalkan solusi teknologi digital lainnya. Hal ini tentu akan mengubah ruang kelas dan apa yang terjadi di dalamnya. Belajar masih akan berlangsung terutama di sekolah-sekolah yang didukung oleh Pekerjaan Rumah seperti sekarang.

Sebuah skenario pandangan kedua adalah sekolah hanya sebagai tempat untuk fasilitasi penelitian dan pengecekan prestasi. Belajar bisa dari mana saja. Pembelajaran “digital Personalized” akan menjadi modus yang paling umum dari studi.

Skenario ketiga akan meningkatkan sekolah sebagai tempat pembelajaran sosial dan keterampilan perkembangan. Pembelajaran kooperatif, pemecahan masalah dan menumbuhkan kebiasaan pikiran akan berada di jantung kehidupan sekolah.

Saya sudah melihat tanda-tanda skenario ketiga di seluruh dunia. Ada orang tua yang sudah mulai menuntut itu karena mereka berpikir bahwa anak-anak mereka menghabiskan waktu terlalu banyak dengan teknologi dan bahwa sekolah harus membantu mereka belajar untuk menjadi dengan orang lain. Saya ingin melihat lebih banyak sekolah mendidik anak-anak untuk merasakan empati dan sebagai Sir Ken Robinson mengatakan, menemukan bakat mereka melalui musik, seni, dan pendidikan jasmani bersama-sama dengan kurikulum akademis tradisional.

Q: Jack Buckley, Komisaris dari Pusat Nasional untuk Statistik Pendidikan, katanya “selalu sedikit bingung oleh perhatian tingkat tinggi yang dilatih Finlandia menarik perhatian dunia karena berbagai alasan, padahal ada tempat-tempat lain untuk mencari kasus penelitian.” Bagaimana Anda melihat ini?

A: Dalam buku saya, saya mengangkat dua poin peringatan. Pertama, saya tidak mengatakan bahwa Finlandia memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia dan bahwa orang lain harus meniru apa yang telah kita lakukan. Ini ketenaran global sebenarnya sudah cukup memalukan bagi kita Finlandia.

Pendidik Finlandia tidak senang tentang PISA, TIMSS, atau perbandingan internasional lainnya. Kami lebih suka berharap Finlandia dipandang sebagai negara di mana empat dari lima pembayar pajak percaya sistem sekolah publik kita, dan di mana tiga dari empat warga berpikir bahwa sistem pendidikan yang didanai publik kami adalah prestasi kami yang paling signifikan sejak kemerdekaan pada tahun 1917. Kami merayakan prestasi ini daripada peringkat tinggi dalam tabel liga pendidikan global.

Kedua, saya membuatnya sangat jelas bahwa sistem sekolah Finlandia tidak dapat ditransfer di tempat lain di dunia. Banyak aspek keberhasilan sistem pendidikan Finlandia berakar jauh di dalam budaya kita dan nilai-nilai, yang berbeda dengan di AS Misalnya, tingginya tingkat kepercayaan pada orang dan lembaga, mengejar kesetaraan dan keadilan dalam masyarakat dan kehidupan, dan kemauan untuk membayar pajak untuk kebaikan umum adalah beberapa kondisi Finlandia yang tidak ada di mana-mana. Apa yang dapat kita lakukan, sebagai Jack Buckley dan lain-lain tunjukkan, adalah melihat dunia dan belajar dari satu sama lain.

Ada beberapa pelajaran nyata bahwa pendidik Amerika dan pembuat kebijakan bisa belajar dari Finlandia. Sejak standardisasi telah menjadi salah satu prinsip dalam kebijakan pendidikan Amerika, saya akan menyarankan bahwa daripada over-standarisasi pengajaran dan pembelajaran di sekolah dengan kurikulum yang ditentukan dan sering high-stake testing, tiga aspek lain dari pendidikan harus standar sebagai gantinya.

Pertama, standar universal untuk sekolah pembiayaan, sehingga sumber daya yang disalurkan ke sekolah-sekolah sesuai dengan kebutuhan riil. Hal ini sangat penting dalam rangka meningkatkan pemerataan dan kualitas dalam pendidikan Amerika.

Kedua, standar universal untuk alokasi waktu di sekolah, memungkinkan siswa untuk memiliki istirahat yang tepat antara kelas dan kurikulum yang seimbang antara belajar akademik, seni, dan pendidikan jasmani.

Ketiga, standar universal untuk persiapan guru yang mengikuti standar profesi top lainnya. Memulai ujian bagi guru adalah langkah menuju standar profesional tinggi dalam mengajar.

sumber: http://www.huffingtonpost.com/c-m-rubin/finland-education_b_2468823.html

selembar ijazah, apa makna selembar ijazah??

MAKNA SELEMBAR IJAZAH

Sosok laki-laki itu berdiri gagah. Kulitnya hitam legam terbakar matahari. Bahu yang kekar dan otot-otot bisep yang menonjol di lengannya membentuk postur bagai patung dewa-dewa Yunani. Sorot matanya tajam, setajam elang di payungi sepasang alis hitam. Rambut lurus yang jatuh di keningnya, sesekali bergerak di tiup angin.

Dari perbukitan ia memandang hamparan tanaman cengkeh yang mulai berbunga. Di kelilingi pohon kelapa yang membentuk pagar, membuat kebun cengkeh nampak bagai sebuah mahakarya lukisan. Biru langit yang membingkai secara keseluruhan, membuat perpaduan biru putih dan hijau yang sangat indah. Jalan setapak nampak bagai tubuh ular yang meliuk-liuk.

Harumnya cengkeh tercium hingga jauh diujung jalan. Sesaat lagi masa panen akan tiba. Ada rasa bangga membuncah di dadanya. Sesekali laki-laki itu mengangkat tangan membalas sapaan sesama petani cengkeh. Kerja keras dan tetes keringatnya kini membuahkan hasil. Sebuah pengorbanan yang tidak sia-sia. Orang tuanya benar, bila bukan dirinya yang memulai lalu siapa? Waktu sudah mengikis habis semua rasa egoisnya. Waktu pula yang menempanya menjadi sekeras baja. Setiap pohon cengkeh menjadi saksi bisu dari perjuangannya melawan diri sendiri.

Masih kuat dalam ingatannya, pertengkaran dengan sang ayah. Percakapan malam itu, yang membuatnya kini bisa menatap hamparan kebon cengkeh yang di garapnya. Penyesalan memang tiada guna, namun ia tak menyesali pilihannya. Ia sangat sadar setiap orang dalam kehidupan mempunyai kesempatan memilih. Dan ia sudah memilih, maka di sinilah ia berada.

Sesekali ia memutar kembali rekaman memori pertengkaran dengan ayahnya. Karena pertengkaran malam itulah yang menjadi titik awal kehidupannya yang sekarang.

“ Saya sudah bosan dengan semua ini” Ujarnya dengan helaan nafas berat

“ Teruslah bermulut besar, sudah pandai rupanya. Kamu tidak lihat, kamu punya mama berusaha tanam cengkeh , kumpul uang buat kamu punya sekolah. Ini kamu punya balasan? Tanya ayahnya

“Pa, mengertilah sedikit. Kalau saya tinggal terus di sini mau mencari kerja susah. Mau berharap apa?”

“ Kasihan sekali kamu. Sekolah tinggi tapi tetap bodoh. Menyesal sekali kita kasih sekolah sama kamu kalau kamu punya otak cuma sepotong!” Seru ayahnya dengan nada marah.

“Bukan begitu Pa, Justru karena kita sudah sekolah tinggi, kita mau cari kerja biar bisa bikin senang mama dengan papa” Balasku dengan sama emosinya.

“ Nyong (panggilan untuk anak laki-laki). Kamu harus tahu. Kalau kamu punya papa dengan mama kasih sekolah tinggi buka Cuma sekedar untuk kumpul uang. Kita orang mau kamu kasih hidup ini tanah. Tanah tempat kamu punya leluhur hidup dan bekerja. Tanah warisan yang harus kamu lestarikan. Karena ini tanah sudah banyak menghasilkan. Salah satunya kamu punya ijazah! Ujar ayahnya panjang lebar.

“Pa, kita mengerti. Tapi kondisi sudah maju begini, masa kita harus kerja di kebun!:” Protesku

“Kenapa? Kamu malu?”

“ Bukan malu tapi…

“Sudahlah! Eh nyong, dengar baik-baik. Kalau kamu pergi, jangan kamu berpikir kita orang berharap kamu punya uang. Kalau kamu pergi kamu sudah bawa jiwa kamu punya mama. Buat kamu punya mama, hidup sudah tidak ada guna kalau kamu pergi lagi. 5 tahun tidak sebentar untuk hibur kamu punya mama. Kita orang banting tulang menghibur diri berharap suatu hari nanti kamu pulang. Lihat sekarang, baru dua minggu kamu punya mama rasa senang karena kamu sudah kembali. Tapi sekarang kamu mau pergi lagi. Kenapa kamu tidak sekalian tikamlah kamu punya mama dengan bambu. Kasih mati saja. Biar selesai penderitaannya di dunia. Tuhan Allah Bapak Di Sorga, biar kasih ampun kita punya ucapan!”

Lamunannya terputus, ketika di rasakan tangan seseorang di lengannya. Tangan seorang remaja laki-laki.

“Papa ada melamun?” Tanya si bocah

“Tidak,. Papa ada lihat kita orang punya kebon!”

“Panen sudah mau tiba kan?

“Iya!”

“Jadi kita beli mobil?

“Kalau uangnya sudah terkumpul”

“Pasti terkumpul, kita orang punya cengkeh paling bagus kwalitasnya kan?

“Kamu sudah pandai rupanya?

“Om Arnold ada bilang, kalau ada mobil sendiri kita bisa bawa langsung ke pembel?

“Betul tapi kita harus bersatu dengan petani cengkeh yang lain supaya bisa jaga itu harga”

“Tapi kalau mereka orang tidak mau?”

“Kita harus kasih pengertian, keringat kita orang ada nilainya”

“Tapi pabrik rokok di Jawa punya kuasa kan!”

“Jangan lupa, kita orang yang punya cengkeh. Jadi kita orang yang akan mengatur!”

Saat mentari mulai turun, di ujung barat semburat kemerahan memperindah permandangan. Senja turun mengantar malam yang kan menjelang. Bulan bundar mulai mengintip separuh badan. Lama-kelamaan sosoknya yang putih pucat semakin nyata di antara pohon-pohon kelapa. Malam indah dengan taburan bintang, seakan turut menjaga bunga-bunga cengkeh.

Berabad-abad lampau, karena hasil tanah ini maka orang asing mau datang dan bertransaksi. Bahkan hingga Indonesia merdeka, Cengkeh tetap permata buat masyarakat Minahasa. Sayang kebodohan dan keserakahan telah merampas kesejahteraan hidup masyarakat Minahasa.

Di ruang tamu berukuran 3 x 5 meter, berisi seperangkat kursi dan satu meja kerja kecil di sudut ruang. Seperangkat peralatan komputer tertata apik di atasnya. Yah teknologi telah membantu meluruskan jalan perdagangan , memangkas habis semua bentuk percaloan. Laki-laki gagah itu, kerap menggunakan komputer usai berkebon. Dengan bantuan teknologi, kini ia tak lagi menatap miris, ijazah perguruan tinggi yang terbingkai rapi di dinding.

Ayahnya benar, ijazah itu hanya selembar kertas tak bermakna, usaha dan kerja kerasnya yang memberi makna pada

selembar ijazah. Namanya yang terukir indah di ijazah itu kini sebanding lurus dengan tetesan keringat yang membasahi kebon cengkehnya. Namanya akan berurat dan berakar bukan hanya di kebon cengkehnya. Tapi juga menjadi motivasi bagi pemuda-pemuda di kampungnya, untuk kembali menggarap tanah. Gelar-gelar sarjana kini menjadi sekedar gelar karena di tiap-tiap kebon yang di garap gelar sarjana tak ada arti, yang memberi arti adalah gerakan tangan saat membelai mesra batang cengkeh. Saat membabat habis semua benalu dan kebahagiaan bukanlah saat menerima gaji tapi kegembiraan menjadi nyata saat putik cengkeh berbunga. Memberi makna tak ada keringat yang sia-sia.

Janji leluhur sudah ditepati, tak ada tanah yang tak menghasilkan. Tinggal bagaimana kedua tangan dan kaki menari, diiringi musik alam, mencangkul dan memotong agar bisa membuat yang terbaik. Karena bumi selalu berterima kasih, sebanyak tangan dan kaki mengolah sebanyak itu pula kelak hasil yang akan di panen.

Ditulis oleh Elisa Koraag
(15 Juni 2007)

??ini kearifan lokal

Surau – Pendidikan Komunitas Berbasis Kearifan Lokal

Dahulu Surau adalah sentra pendidikan peradaban berbasis masyarakat di desa-desa di Minangkabau, Sumatera Barat.

Sebuah konsep pendidikan yang berbeda jauh dari konsep “schooling” yang kita kenal hari ini, dimana nilai berupa angka dan kepintaran akademis dipertuhankan. Pendidikan yang mengukur keberhasilannya dari kedewasaan, keshalihan dan kemandirian para remaja desa yang sudah aqil baligh. Suatu ukuran yang tidak dapat dimanipulasi siapapun, karena masyarakat menjadi saksinya.

Anak lelaki remaja yang sudah baligh, dibudayakan malu untuk tidur di rumah, mereka tidur di Surau untuk di tempa dan dibina aqil dan kemandiriannya menuju aqil baligh menjadi pribadi mukalaf yang mampu menjalani masa sinnu taklif, dimana kewajiban syar’i fardu ain dan fardu kifayah telah setara dengan kedua orang tuanya.

Anak-anak itu tidur, makan, belajar dan bercengkerama dalam kebersamaan. Tiada bodoh dan pintar, tiada nilai rapot, yang ada adalah pengakuan pemimpin Surau dan warga bahwa ia telah sholeh dan telah mandiri serta bermanfaat.

Konon para orientalis berbulan-bulan mempelajari konsep pendidikan Surau sehingga munculah kurikulum berbasis kompeten (KBK) minus iman dan akhlak yang lalu diadopsi kembali oleh bangsa ini. 🙂

Sebuah surau dipimpin oleh seorang local leader, dia adalah seorang ulama (Labay). Sedangkan yang merupakan wakil ulama yang mengurusi keperluan surau dan disebut Gharin.

Labay atau Buya tidak bisa diharapkan 100% hadir mengurusi surau karena selain tugas keagamaan, ia juga melakoni tugas mencari nafkah untuk keluarganya. Seorang Buya atau Labay dalam kesehariannya bisa saja sebagai petani, pedagang, penjahit, atau apa saja. Mereka biasanya merupakan teladan dalam hal keshalehan pribadi dan keshalehan sosial, begitupula teladan dalam pertanian dan perdagangan dsbnya. Karena sejatinya merekalah Guru, Ulama dan model keteladanan di desa.

Modeling kepemimpinan dan keteladanan inilah sepanjang sejarah yang melahirkan kepemimpinan.

Dalam kultur surau, pembantu Labay selain Gharin adalah Pandeka yang bertugas mengajari ilmu siasat dan pencak silat yang lazim disebut sebagai pelajaran tentang Langkah Yang Empat. Oleh Labay, Pandeka juga diberi upah yang layak untuk menopang hidupnya.

Dan Labay, meskipun tidak mengharapkan upah dari murid-muridnya, selain sebagai rasa cinta kepada agama dan guru, murid biasanya membawakan ayam, ikan, beras, telor bahkan uang sebagai kompensasi hilangnya waktu Labay dalam mencari nafkah di luar. Komunitaslah atau masyarakatlah secara ikhlash tanpa diminta bahu membahu secara bersama mengembangkan pendidikan ini.

Tidak ada metode canggih yang digunakan kecuali cinta, keikhlasan dan kebersamaan dalam tumbuh kembang dalam bingkai-bingkai keimanan, ilmu yang bermanfaat serta akhlak yang mulia. Satu-satunya teknik pendidikan adalah sorogan dan halaqoh serta terjun langsung di sawah dan di pasar. Di pendidikan seperti inilah lahir Ulama-ulama tangguh dan teruji zaman sekelas Prof DR. Hamka.

Para pemimipin surau inilah ayah kolektif bagi para anak dan remaja. Ayah yang ulama dan ayah yang guru sekaligus pemimpin dalam keteladanan ilmu, iman dan akhlak.

Melahirkan Local Leader.

Konsep Surau sangat luarbiasa untuk mmembangun kepemimpinan dalam diri anak dan remaja, karena membangun potensi yang ada dalam diri anak-anak, membutuhkan komitmen yang kuat untuk menggali dan membangun dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, dan dalam setiap kesempatan yang ada, dalam hubungan yang kuat, dan sarat dengan penerimaan dan dukungan dari orang-orang terdekatnya, yaitu orang tua, guru dan lingkungan. Di sinilah keunggulan konsep Pendidikan Surau.

Menurut Stephan R. Covey, tingkat dasar dari Pyramid of Influence adalah Modelling, yaitu contoh atau teladan. Tingkat pyramid berikutnya adalah hubungan, dan puncak pyramid pengaruh adalah didikan atau pengajaran.

Jadi, membangun kepemimpinan dalam diri anak-anak, adalah dengan cara membangun member dampak dalam diri mereka. Memberi dampak (Influencing) adalah suatu kemampuan yang dapat dikembangkan, yaitu dimulai dengan modeling, lalu hubungan dan kemudian didikan. Inilah sejatinya yang dijalankan secara sederhana dalam konsep pendidikan surau.

Modelling

Modelling, yaitu dengan member contoh dan teladan, kitalah contohnya, contoh apa yang kita berikan? Antara lain, bagaimana hubungan kita dengan Tuhan, bagaimana kita belajar, bagaimana kita berbicara, tetapi melakukan dan menjadi contoh atas apa yang kita ajarkan, maka anak-anak akan melihat dan membangkitkan kepercayaan dalam diri mereka. Hasil dari modelling ini adalah terbangun kepercayaan yang kuat.

Hubungan

Hubungan, yaitu bagaimana kualitas hubungan yang terbangun, bagaimana kita mendengar mereka, bagaimana kita memuji mereka, bagaimana kita bersikap ketika mereka belum berhasil, ditandai dengan kepedulian, perhatian, dan empati. Hubungan yang positif, seperti hubungan pershabatan akan berbekas dalam diri anak-anak, dan anak yang cenderung berprestasi adalah mereka yang memiliki orang tua dan guru yang tidak pernah lupa bahwa hal terpenting yang bisa mereka lakukan menjalin hubungan yang positif dengan anak-anaknya. Hasil dari membangun hubungan ini, antara lain anak-anak menemukan potensi dirinya dan terbangun rasa percaya diri dan keberhargaan diri.

Didikan

Didikan, yaitu dengan keterampilan mengembangkan potensi diri, karakter dan hubungan pribadi yang kuat dengan Tuhan, membangun kemandirian atau kepemimpinan diri, dan keberanian mengkomunikasikan buah pikirannya.

Ketika anak-anak menaruh keimanan kepada Allah swt, sumber segala hikmat, kepada orang tua dan guru (ulama dan pemimpin), maka hubungan akan mudah terbangun. Hubungan yang baik akan menjadi dasar untuk menerima didikan, ajaran atau pengaruh, dan setiap usaha yang dilakukan, pasti menghasilkan perubahan.

Pendidikan bebasis kearifan lokal yang dikelola bersama dengan target kemandirian dan keshalehan para pemuda serta melahirkan kepemimpinan inilah yang diamanahkan oleh alQur’an, dicontohkan oleh Rasulullah saw dan diterapkan oleh para Ulama sepanjang sejarah peradaban Islam… lalu mengapa kita tidak mewujudkannya bahkan lebih suka merobohkannya tanpa sadar??

Salam Pendidikan Masa Depan

Harry Santosa

Mengenal Andy Byers, Penggagas Talular (Teaching and Learning Using Locally Avalilable Resources)

Mengenal Andy Byers, Penggagas Talular (Teaching and Learning Using Locally Avalilable Resources)

Selalu saja ada anomali dalam kehidupan. Dan orang-orang yang menempuh jalan berbeda dari orang-orang kebanyakan. Mereka mempunyai gagasan-gagasan berbeda untuk menyelesaikan masalah, yang kemudian diwujudkan dalam aksi nyata. Merekalah yang kemudian, meminjam istilah Steve Jobs, membuat lekukan di alam semesta.

Dalam dunia pendidikan pun demikian. Di tengah opini umum tentang pentingnya pendidikan berstandar internasional, yang terjebak pada ukuran fasilitas fisik dan bilingual, ada orang-orang yang menyerukan gagasan berbeda. Ajakan untuk kembali kepada substansi pembelajaran yang memanusiakan manusia. Maka kita mengenal sosok-sosok hebat semacam John Dewey dan Paulo Freire. Di Indonesia kita mengenal Lendo Novo dengan gerakan sekolah alam yang digagasnya.

Kesan yang sama saya dapatkan dari sosok Andy Byers, penggagas Talular. Belum kenal Talular? Baiklah. Talular adalah singkatan dari Teaching and Learning Using Locally Avalilable Resources. Istilah Talular diperkenalkan Andy Byers, dia lebih senang dipanggil Andy, untuk merujuk pada metode pembelajaran yang menggunakan sumber yang terdapat di lingkungan sekitar. Jika Anda ingin mengetahui lebih jauh tentang Talular silahkan baca tulisan ini: Tertular Talular.

Perkenalan saya dengan Andy bermula dari kunjungan dia bersama tim British Council Indonesia ke Sekolah Alam Bogor pada bulan September 2011. Kunjungan itu berlanjut dengan kegiatan workshop Talular, juga bertempat di Sekolah Alam Bogor, yang diikuti 30 peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Selama sepekan, Andy bersama Bu Itje dan Pak Toto dari British Council, menjadi fasilitator kegiatan tersebut. Karena saya tuan rumah, otomatis saya pun ikut melayani dan membantu kegiatan mereka, sehingga saya punya kesempatan mengenal lebih jauh tentang Talular dan, tentu saja, Andy.

Andy lahir dari keluarga pendidik. Ibunya adalah guru yang mengajar di sebuah sekolah di Inggris. Jejak sang ibu akhirnya juga diikuti Andy. Setelah beberapa tahun menjadi guru di Inggris, ia hijrah ke Afrika untuk membantu program peningkatan kualitas pendidikan di beberapa negara. Dari sanalah Andy, bersama teman-teman lokalnya, mengembangkan dan memopulerkan Talular. Keterbatasan sarana dan fasilitas pendidikan di negara-negara Afrika, menjadikan Talular menemukan relevansinya. Tidak heran, di Malawi dan Zambia, Talular telah diadopsi oleh Departemen Pendidikan negara-negara tersebut.

Saya mengenal Andy sebagai seorang yang low profile dan tulus. Berulang kali ia menegaskan bahwa Talular hanyalah istilah baru untuk sesuatu yang telah ada sejak lama. Orang tua dan guru-guru kita sejatinya sejak dulu telah memraktekkan Talular. Karena itu, ia pun mempersilahkan siapa pun untuk menyebarkan Talular berikut aneka materi hasil karyanya. “No copyright!”, tegasnya.

Permintaan Andy untuk memindahkan tempat workshop dari sebuah hotel di Jakarta ke Sekolah Alam Bogor menjadi cerita tersendiri. Ia dengan tulus mengapresiasi model pembelajaran yang telah dikembangkan di Sekolah Alam Bogor. Apalagi ketika melihat Bank Sampah, ia sangat antusias. “Wow, it’s a Talular Bank!” serunya. Karena itu, ia meminta British Council untuk memindahkan empat hari kegiatan workshop ke Sekolah Alam Bogor. Dua hari kegiatan tetap diadakan di Jakarta, karena berbentuk Webinar yang langsung dihadiri CEO British Council, Mr. Martin Davidson.

Bagi saya, bertemu Andy Byers seperti bertemu dengan kawan lama. Mungkin karena kami memiliki frekuensi yang sama. Kesamaan gagasan yang diusung dan nilai-nilai perjuangan yang dipegang. Talular adalah sekolah alam, dan Andy adalah salah seorang guru sekolah alam yang hebat. Thanks, Andy!

http://teravisi.blogdetik.com/2011/10/19/mengenal-andy-byers-penggagas-talular/

Warisan Abadi bernama Tulisan

Warisan Abadi bernama Tulisan

Apa cara terbaik agar kita rajin membaca? Jawabannya adalah rajin menulis.
Lalu apa cara terbaik agar kita rajin menulis? Jawabannya adalah rajin membaca.

Menurut Hernowo, penulis buku “Mengikat Makna”, bahwa dengan membaca dan menulis bukan hanya mendapatkan manfaat dari membaca dan menulis, melainkan juga, bahkan, efek yang begitu dahsyat. Apa efek-dahsyat itu? “Mengikat makna telah membuat saya dapat memunculkan gagasan-gagasan baru.”

Lanjut hernowo, “…gagasan tentang sekolah berpikir itu, saya kira, merupakan efek-berantai dari kegiatan mengikat makna yang saya jalankan secara kontinu dan konsisten selama tahun 2010 dan berlanjut pada enam bulan awal 2011. Bagi saya—dan ini saya rasakan benar-benar—membaca telah mengembangkan pikiran saya ke arah yang tidak saya duga. Saya diajak oleh buku-buku yang saya baca untuk mengembara ke mana-mana. Buku bagaikan kapal Christopher Columbus yang mengantarkan Columbus menemukan benua baru—saya diantar oleh sebuah buku untuk menemukan gagasan baru. Dan, menulis, sudah sangat jelas, telah membuat pikiran saya yang mengembara ke mana-mana itu menjadi matang—menemukan gagasan yang baru dan unik yang berhasil saya konstruksi”

“Membaca membutuhkan menulis dan menulis membutuhkan membaca.”
—Aturan Emas “Mengikat Makna”

Bila masih belum termotivasi untuk menulis dengan melihat betapa efek dahsyatnya membaca dan menulis dengan bertualang seperti Pak Hernowo, mungkin motivasi terakhir berikut bisa meyakinkan kita betapa penting menulis, berbagi dan membaca.

Steven Covey, pengarang buku Eight Habits, pernah mengatakan, orang harus punya sesuatu yang bisa diwariskan setelah mati selain nama. “Covey bilang apa sih yang ingin orang ucapkan tentang kamu di depan makam kamu. Cuma nama saja, atau kamu ingin diumpat sebagai penjahat, atau diingat karya-karyanya atau pemikirannya?”

Terdorong hal itu, menulis buku adalah jawabannya. Bagi Rhenald Kasali, bisa menulis buku itu satu anugerah, suatu kebanggaan yang tidak terhingga lantaran penulisnya meninggalkan warisan pemikiran kepada orang lain.

Semua itu terwujud saat anaknya memperlihatkan kebanggaan ketika tahu di perpustakaan sekolah ada buku yang ditulis ayahnya. “Yang paling membahagiakan, saya kira ke¬banggaan anak-anak saya itu.

Selain itu, sewaktu sekolah di Amerika, saya tak bisa menyembunyikan kebanggaan saya ketika secara iseng-iseng buka katalog di perpustakaan, ternyata keluar nama saya. Teman-teman yang ada di situ pada bingung semuanya. Saya juga enggak nyangka bahwa perpustakaan tempat saya mengambil gelar doktor itu ternyata mengoleksi buku saya,” papar Rhenald.

Sejak tahun 1994, ia sudah menulis 10 judul buku. Tema yang ditulis di bidang marketing dan manajemen sesuai dengan keahliannya. Buku-buku karangannya rata-rata masuk dalam buku-buku best seller, seperti Manajemen Periklanan, Manajemen Public Relation, dan Membidik Pasar Indonesia. Buku-buku tersebut terjual di atas 20.000 eksemplar. Kini buku yang dia tulis, jauh lebih banyak, dan rata-rata memiliki apresiasi yang positif di masyarakat.

Nah, sekarang –lagi-lagi— apa yang dapat diambil dari pengalaman menulis Rhenald Kasali? Kali ini pengalaman itu tampaknya lebih filosofis.

Pertama, pentingnya meninggalkan nama setelah mati. Setiap orang pasti mati, karena itu, jika ingin dikenang menulis adalah jawabannya. Kata peribahasa, gajah mati tinggalkan gading manusia mati tinggalkan nama. Peribahasa ini menjadi luar biasa, manakala kita dapat menerjemahkannya dalam praksis hidup dengan gairah menulis dalam denyut nadi.

Kedua, menulis itu membanggakan. Awas, sesungguhnya menulis bukan untuk bangga-banggaan, tetapi siapa sih yang tidak bangga jika tulisan kita dibaca orang lain? Apalagi jika itu berbentuk buku yang abadi dalam sepanjang waktu? Anak cucu dapat menikmati nama ayah-atau ibunya yang diabadikan di perpustakaan.

Karena itu, barangkali, menulis buku karenanya, lebih berharga daripada harta benda yang kita wariskan kepada generasi nantinya. Sebab, dalam menulis ada ilmu yang kita wariskan. Jika agama mengatakan zakatnya ilmu dengan mengamalkanlah, maka dengan menuliskan pikiran dan ilmu pengetahuan berarti kita telah “terbebas” dari dosa, kikir terhadap ilmu yang telah kita terima.

Ketiga, menulis jadi jembatan beramal. Sebagaimana disinggung pada poin kedua, maka hakikat berbagi ilmu dengan sendirinya adalah beramal. Amal ilmu adalah dengan menularkannya. Untuk itu, secara filosofis, hal ketiga ini pentingnya kita agar tidak kikir dalam berilmu. Ilmu diamalkan akan bertambah!

Nah, tunggu apalagi? Mulai beramal dengan ilmu, marilah kita sadari sedini hari. Bukankah umur tak kekal jika dibandingkan ilmu yang diamalkan? Untuk itu, marilah kita tuangkan ilmu yang kita miliki dengan menuliskannya sehingga pesan hadis yang mengatakan, “matinya ‘alim adalah matinya alam semesta” dapat dihindarkan.

Jangan beralasan tidak berilmu, dimensi ilmu dalam lembar hidup ini terentang dalam segenap gerak dan langkah hidup kita. Tunggu apa lagi? Berbagi ilmu adalah ibadah, kikir terhadap ilmu na’udubilah.

Selamat Menulis dan Berbagi sebanyak-banyaknya 🙂